Menyambung
dari tulisanku sebelumnya, bahwa klab bahasa yang ada MKAA itu tak sekedar mempelajari
bahasa saja, melainkan mempelajari kebudayaannya juga. Maka pada pertemuan
ketiga, kami sudah berjalan-jalan mengunjungi pusat kebudayaan Tionghoa yang
ada di Bandung. Graha Surya Priangan, namanya.
Pagi
itu, kami sudah berkumpul di MKAA. Tak banyak barang yang kami bawa. Hanya
sekedar bekal untuk pengusir lapar dan haus. Namun ada pula yang sengaja
membawa kamera untuk mengabadikan beberapa hal unik dan menarik di sana.
Sebenarnya,
Graha Surya Priangan tidak begitu jauh dari MKAA. Hanya membutuhkan waktu sekitar
15-20 menit saja, kami sudah tiba di tempat tujuan. Yakni jalan Nanarohana
No.37 Bandung. Padahal saat itu, waktu baru menunjukkan pukul 10 pagi.
Pada
awalnya, tempat tersebut bernama Yayasan Dana Sosial Priangan. Yayasan ini
didirikan oleh Tuan Lee pada tahun 1973. Namun seiring dengan perkembangan
waktu, gedung yayasan ini mengalami beberapa kali perbaikan. Namanya pun diubah
menjadi Graha Surya Priangan.
Walaupun
sudah cukup lama berdiri, namun masih belum banyak orang yang tahu mengenai
keberadaan tempat ini. Begitu pula dengan para etnis Tionghoa yang tinggal di
kawasan Bandung dan sekitarnya.
Seiring
dengan perkembangan jaman, Yayasan Dana Sosial Priangan sudah mengalami
beberapa kali pergantian pimpinan. Biar begitu, visi dan misi yang ada tidak
pernah berubah. Yakni menyalurkan bantuan pada masyarakat sekitar. Terutama
untuk korban bencana alam, membangun sekolah, dsb
Setelah
cukup puas menyimak sejarah Yayasan Dana Sosial Priangan, kami pun diajak untuk
memasuki ruang pameran.
Di dekat pintu utama, kami langsung disambut oleh tiga
peristiwa penting dalam budaya Tionghoa, yakni:
- Kelahiran, disebut dengan xishi yang artinya peristiwa yang membahagiakan
- Pernikahan (hong Shi) yang berarti peristiwa merah. Warna merah melambangkan kebahagiaan
- Kematian disebut baishi artinya kejadian putih. Di mana warna putih melambangkan berkabung
Kemudian
kami beralih ke area pameran lain. Di mana salah satu videonya sedang memutar tentang
beberapa kampung Pecinan yang ada di Indonesia. Salah satunya, kampung Pecinan
yang ada di dekat terminal Baranangsiang Bogor.
Ada
pula Cibeng yakni kaum Cina Benteng yang tinggal dipinggiran
sungai Cisadane Tangerang. Konon katanya, di tempat tersebut sering diadakan
Festival Perahu Naga. Ah jadi penasaran, kira-kira seperti apa festivalnya, ya!
Meski sering dianggap kaum minoritas, tapi
tak dapat dipungkiri kalau etnis Tionghoa banyak berjasa bagi bangsa Indonesia.
Sebut saja dalam dunia olah raga, khususnya cabang bulutangkis. Sudah sejak
lama, mereka selalu mengukir prestasi
untuk mengharumkan nama Indonesia dikancah Internasional.
Tak cukup sampai di situ, karena
ternyata ada beberapa tokoh Tionghoa yang telah melegenda dari waktu ke waktu. Hanya saja,
selama ini kita hanya mendengarnya sepintas lalu. Penasaran, siapa saja mereka?
Laksamana Chen Hong - Penjelajah Muslim dari Tiongkok
Seperti
halnya, petualang hebat dari Maroko, Ibnu Battuta, Cheng Ho pernah singgah di
Nusantara dalam ekspedisinya. Jejak hidup Laksamana Cheng Ho, begitu berarti
bagi umat Islam dan bangsa Indonesia.
Ekspedisi
arung samudera yang dilakukan Cheng Ho telah dilakukan 87 tahun sebelum
penjelajah kebanggaan Barat, Christopher Columbus. Penjelajah asal Portugis,
Vasco da Gama serta petualang asal Spanyol, Ferdinand Magellan.
Petualangan
antar benua yang dipimpin Cheng Ho selama 28 tahun (1405 M -1433 M) itu
berlangsung dalam tujuh kali pelayaran. Tak kurang dari 30 negara di benua Asia
dan Afrika yang disinggahi, dengan jarak yang ditempuh mencapai 35 ribu mil.
Sebuah
prasasti yang ditemukan di Provinsi Fujian, menyebutkan kalau Laksamana Cheng
Ho diperintahkan kaisar Dinasti Ming untuk berlayar mengarungi samudera menuju
negara-negara di luar horizon.
Atas
perintah Kaisar tersebut, Cheng Ho mengerahkan armada raksasa dengan puluhan
kapal besar dan kapal kecil serta puluhan ribu awak. Padahal, ekspedisi yang
dilakukan Columbus saat menemukan benua Amerika hanya mengerahkan tiga kapal
dengan awak mencapai 88 orang. Sebuah ekspedisi yang benar-benar dahsyat.
Dalam setiap
ekspedisinya, Cheng Ho menumpangi 'kapal pusaka'. Sebuah kapal terbesar pada
abad ke-15 M. Betapa tidak, panjangnya saja mencapai 138 meter dan lebarnya
sekitar 56 meter. Ukuran kapal tersebut, lima kali lebih besar dibanding kapal
Columbus.
Sebelum memulai ekspedisinya, rombongan besar
itu menunaikan shalat terlebih dulu di sebuah masjid tua di kota Quanzhou
(Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai Caliut, barat daya
India dan sampai di wilayah Asia Tenggara: Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa,
Vietnam, Srilangka.
Di
setiap persinggahan, armada itu melakukan transaksi dengan cara barter. Mereka
memang sengaja tidak melakukan penaklukan, karena ekspedisi tersebut hanya bertujuan
untuk memperkenalkan dan mengangkat nama besar Dinasti Ming ke seluruh dunia.
Tindakan
militer hanya diterapkan ketika armada yang dipimpinnya menghadapi para
perompak di laut. Cheng Ho tutup usia di Caliut, India ketika hendak pulang
dari ekspedisi ketujuh pada 1433 M. Namun, ada pula yang menyatakan dia
meninggal setelah sampai di Cina pada 1435 M.
So Hok Gie
Lim A Goh
Kontraktor kelahiran Cina tahun 1890 ini, merupakan
salah seorang arsitek Tionghoa
yang telah membangun beberapa tempat penting di kota Bandung. Meski sudah berumur
ratusan tahun, tapi semua bangunan tersebut masih tetap berdiri kokoh hingga sekarang.
Lim A Goh ikut membangun proyek HBS (sekarang SMA 3
& SMA 5 Bandung), Sekolah
Trinitas, Kantor Pos besar, penjara
Sukamiskin, beberapa bangunan barak militer, gedung Balai Kota, dan juga gedung
Landmark.
Selain itu, ada pula Societeit Concordia (sekarang gedung Museum Asia Afrika), gedung Die Kleur di Dago, serta
Gedung Sate. Selain menjadi ikon utama
kota Bandung, Gedung Sate juga dijadikan kantor pemerintahan provinsi Jawa
Barat.
Masyakat
Tionghoa pun, mengenal beberapa unsur Kehidupan. Diantaranya:
- Air (musim dingin) dilambangkan dengan warna biru. Air bersifat mengalir, mengalah, hening, sabar, flexibel, menyimpan potensi dan terkadang membahayakan
- Kayu (musim semi) dilambangkan dengan warna hijau. Kayu berpandangan ke depan, merencanakan dan membuat keputusan.
- Tanah (akhir musim panas) dilambangkan dengan warna kuning. Diyakini sebagai pusat keseimbangan dan tempat dimana energi melambatkan geraknya. Tanah juga dikaitkan dengan sistem pencernaan tubuh dan indera perasa dan juga melambangkan stabilitas yang ajeg.
- Logam (musim gugur) dilambangkan dengan warna putih. Energi dalam logam mempersatukan gerakan batin, bagai bunga kuncup dikelopak.
- Api (musim panas) dilambangkan dengan warna merah. Merupakan sifat dasar, puncak pertumbuhan dan kehangatan hubungan antar manusia.
Sebenarnya, masih banyak hal menarik
lainnya yang ada di tempat ini. Namun dengan waktu yang terbatas, sudah saatnya
kami pulang kembali ke MKAA dan belajar bahasa Mandarin di dalam kelas. Bersambung…
Bandung, Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar