Kamis, 15 Maret 2018

Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan.
"Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mudik kemarin. Bagus, kaan?" balas Nuy bangga.
"Ah, bukan bilang dari tadi kalau mau mie. Kan bisa bikin sekalian," timbrung Lina yang baru muncul dari dapur.
"Iih siapa lagi yang mau bikin mie, suka nyambung aja. Maksud aku tuh, Emih ibu aku dikampung, bukan emih yang bisa dimakan." ujar Nuy lagi jengkel.
"Ah da kamu mah aneh, masa sama orang tua bilangnya Emih. Orang lain mah manggilnya Ibu, Mamah, Mamih, Bunda." sanggah Lina lagi sembari mengaduk-aduk semangkuk mie dihadapannya
"Biarin, suka-suka aku dong mau manggil Ibuku apa. Syirik aja kalian," gerutu Nuy
"Terus itu ngapain?" tanya Dinny lagi
"Eh ini, aku iseng aja." balas Nuy sembari asyik mencoret-coret kertas
Barangsiapa yang menemukan dompet ini, harap hubungi nomor 0896XXXXXXXX
Terima kasih
"Laah, siapa yang mau nelpon kamu?" intip Dinny
"Iyaa.. Memangnya mau dompet barunya ilang?" timpal Lina lagi.
"Ihh amit-amit, jangan sampelaah...
*****

 "Astagfirullah..."  ucap Nuy panik.
"Kenapa teh Nuy," balas Aas heran
"Dompet As, dompet aku nggak ada," balas Nuy lagi, wajahnya mulai pucat
"Memangnya tadi disimpan dimana? Ko sampai nggak ada?" tanya Aas penasaran.
"Kan aku taro disaku ini, tapi ko sekarang jadi nggak ada!" ujar Nuy sembari meraba saku jaketnya yang sebelah kiri.
"Kunci... Kunci motor, ada nggak?" tanya Aas ikutan panik
"Kunci motor mah ada," jawab Nuy sembari meraba saku jaketnya yang sebelah kanan.
"Terus, ada uangnya nggak?"
"Ada sih, tapi paling cuma tinggal 7000 perak lagi."
"Syukur atuh, ikhlasin aja uang segitu mah. Kalo urusan dompet, kan bisa beli lagi yang baru!" hibur Aas
"Iih gak bisa gitu, lah! Biarpun nggak ada uangnya, tapi semua identitas aku ada di dompet itu. Mulai dari KTP, KTM, SIM, STNK," sanggah Nuy sedih.
"Ya sudah, kita lapor ke kantor polisi terdekat aja, yuk!" ajak Aas sembari melangkah meninggalkan pasar jumat pagi. Sementara Nuy hanya mengikutinya dari belakang dengan langkah gontai.
Hanya dalam waktu beberapa menit saja, keduanya sudah tiba di kantor polisi terdekat. Beruntung, mereka bertemu dengan  Bapak polisi yang baik hati dan ramah.
"Tenang ya, ambil napas dalam-dalam. Jangan panik begitu!" ujar Pak Polisi menenangkan.
"Habisnya saya kaget sekali, Pak! Gimana kalau sampai hilang semua?" ujar Nuy yang menahan tangis.
"Iya, Pak! Kalau membuat surat-surat yang baru itu waktunya kan lama, belum lagi biayanya nggak sedikit." tambah Aas.
"Bapak juga tahu. Segala sesuatu itu harus dihadapi dengan tenang dan santai, biar kita bisa berpikir jernih. Jadi Bapak mau merokok dulu sebentar, nggak apa-apa kan?" ujar Pak Polisi itu sembari menyalakan rokoknya dan melangkah keluar.
Sedangkan Nuy dan Aas hanya bisa mengangguk pasrah. Tidak ada pilihan lain yang terlintas di kepala mereka, selain mengunjungi kantor polisi ini. Sementara untuk berterus terang ke orang tua di kampung, rasanya terlalu beresiko.
"Jadi, apa yang hilang?" tanya Pak Polisi sembari mematikan rokoknya.
"Dompet," jawab Nuy dan Aas hampir berbarengan.
"Di mana?" tanya Pak Polisi lagi
"Di pasar jumat pagi." balas keduanya kompak.
"Trus, surat BPKBnya mana?"
"BPKB?"
Nuy dan Aas saling berpandangan
"Iya, punya surat BPKB, kan?"
"Euh itu, Pak. Surat BPKBnya ada dirumah."
"Ya sudah, ambil dulu sana ke rumah."
"Tapi rumah saya jauh, Pak." sanggah Nuy
"Ya gak papa atuh, bukannya kalian bawa motor?"
"Maksudnya, rumah dia ada di Majalengka, pak. Saya juga." timpal Aas.
"Oh, majalengka mah jauh atuh. Bapak kira, kalian masih orang Bandung."
"Terus ngapain ke Bandung? Belanja aja?"
"Nggak atuh, pak! Kita kuliah di Bandung."
"Ooh, mahasiswa."
"Bukan, kita mah mahasiswi, hehehe.."
Pak Polisi ikut terkekeh.
"Ya sudah, minta fotonya saja surat BPKBnya, terus kirim ke whatsapp. Nanti sore kalian kesini lagi!"
"Terus, kemana lagi, Pak?"
"Ya nggak kemana-mana. Paling nanti saya kasi surat keterangan kehilangan. Siapa tahu kalian kena tilang, sewaktu-waktu."
"Baik, Pak. Terima kasih banyak."
"Sama-sama."
*****

Tiga hari kemudian...
"Sudahlah ikhlaskan aja. Dompet yang sudah hilang mana mungkin bisa ketemu." hibur Lina.
"Anggap saja buang sial, siapa tahu kamu bakal dapat rezeki yang lebih besar dari itu." lanjutnya lagi.
"Iya sih, aku udah berusaha ikhlas tapi tetap aja masih sedih."
"Kamu mah ketulah sama kelakuan sendiri, sih! Pake corat coret, barang siapa yang menemukan dompet ini, blabla.. Jadi aja, dompetnya hilang beneran."
"Yeh, memangnya aku mau dompet hilang. Nggaklaah, semua orang pasti tidak ingin kehilangan, apapun itu."
"Teteh... Teh Nuy, ada telpon!" panggil Aas dari kamar bawah.
"Siapa?"
"Nggak tahu, nggak kenal!" balas Aas lagi.
"Tunggu sebentar!" ucap Nuy sembari bergegas turun dan menyambar ponsel miliknya dari tangan Aas.
"Halo, maaf siapa ya?"
"Ini dengan sodara Nuy yang rumahnya di Majalengka?" sahut suara seorang Ibu yang ada seberang sana."
"Iya, dengan saya sendiri."
"Syukurlah, saya menemukan dompetnya, Neng!"
"Alhamdulillah, dompetnya ketemu di mana, Bu?"
"Saya nemu dompet ini ditumpukan sampah yang ada di dekat rumah."
"Kalau boleh tahu, rumah Ibu ada di mana?"
"Rumah saya ada di daerah Ciwastra, Neng!"
"Ciwastra dimana, As?" bisik Nuy sembari menjauhkan ponselnya.
"Nggak tahu, tapi bisa kita cari tahu." balas Aas ikut berbisik
Nuy menggangguk mantap.
"Baiklah, saya segera menuju ke sana. Terima kasih banyak Bu, sudah menemukan dompet saya."
"Iya, Neng sama-sama. Saya kasihan aja, pasti sedang bingung mencari-cari dompetnya, kan?"
"Betul, Bu! Saya sudah bingung, harus mencari kemana lagi."
"Kalau begitu, saya menuju ke sana. Nanti kalau sudah dekat rumah Ibu, saya kabari lagi." lanjut Nuy lagi
"Baiklah, saya tunggu."
Selepas telpon ditutup, Aas dan Nuy saling berbalas senyum penuh kebahagiaan.
"Ngomong-ngomong, Ibu itu tahu darimana? Ko bisa menghubungi teh Nuy?"
"Ooh itu. Kan aku iseng nulis  di kertas barang siapa yang menemukan dompet ini, blabla.."
"Terus kertasnya diselipin di dompet," lanjut Aas sok tahu.
"Yup, tepat sekali. Nggak nyangka, tulisan isengku bisa membawa berkah ya, As!"
"Iyaa, tumben Kakak Sepupuku ini bisa berpikir cerdas, hahaha..."
"Ish... Hayuk, temenin aku ke Ciwastra."
"Siap, teh!"
*****

Grey House, 14 Maret 2018

Based on true story

Senin, 12 Maret 2018

Saat Chef Turun Gunung

Orang bilang, hari raya Imlek itu identik dengan hujan. Konon katanya, orang Tionghoa bakal bersedih kalau cuaca menjadi cerah saat Imlek tiba. Lho, kenapa bisa? Sangat berbanding terbalik dengan kebiasaan kita, bukan? Justru kita selalu berharap cuaca akan selalu cerah saat hari raya tiba. 
Akan tetapi, semua itu bukan tanpa alasan. Bagi orang Tionghoa, hujan itu melambangkan rezeki dan berkah. Semakin besar dan derasnya hujan yang turun, maka rezeki yang akan mereka dapatkan juga akan semakin melimpah.
Ooh, begitu ya? Pantas saja. 
Nah, seperti saat ini. Hari raya Imlek sudah berlalu beberapa minggu ke belakang. Namun hujan masih tetap turun di mana saja dan tanpa kenal waktu. Kadang siang, sore, malam bahkan terkadang pagi hari saat aktifitas baru akan segera dimulai.
Kondisi yang sulit diprediksi seperti ini, membuatku merasa semakin malas untuk melakukan aktifitas di luar. Aku akan berpikir seribu kali, apakah aktifitas tersebut sangat mendesak untuk dilakukan? Jika tidak, mungkin bisa ditunda sampai hari kembali cerah.
Hingga suatu sore, aku iseng mengecek whatsapp. Siapa tahu ada info penting dari kampus. Dari sekian banyak pesan yang masuk, aku lebih tertarik pada salah satu pesan yang dikirim Heru. Salah seorang teman baikku dikampus. Kenapa? Karena pesan yang dia kirim itu selalu penuh misteri. Tidak pernah lebih dari lima huruf, itupun sudah termasuk tanda kutip.  
"Teh"
"Maafkan, hapenya baru pulang dari Cimahi." balasku.
"Sudah diduga"
"Memangnya ada apa? 
"Kita kumpul di rumah Anwar, yuk! Kita bikin nasi liwet, sekalian silaturahmi." ajaknya.
"Kapan?"
"Hari minggu aja, jam 10. Bisa datang, kan?"
"Insya Allah. Mudah-mudahan ponakanku mau nganter, kan dia libur kerja kalau minggu."  
"Sip."
Namun, beberapa menit kemudian Heru mengirim pesan lagi. 
"Kata Anwar, kalau hari minggu ada kakaknya yang mau pindahan ke rumah itu."
"Terus, gimana?"
"Aku tanya sama yang lain dulu, ya!"
"Oke."
"Jam 5 aja, katanya."
"Siplah." 
*****

"Isna mau ikut ngeliwet di rumah Anwar?" tanyaku keesokan harinya.
"Boleh, tapi jadinya kapan?" 
"Kata Heru sih, jadi jam 5 sore. Tapi aku baru ngeh, nggak tahu rumah Anwar."
"Hayuk atuh, bareng Isna aja, yuk!"
"Asyik, ada tebengan, hehehe..."
"Eh tapi, jam 5 sekarang, kan?"
"Lho, bukan'a besok sore ya? Kalo sore ini saya belum kepasar
"Coba cross cek dulu, sama yang lain. Siapa tahu, memang Isna yang keliru. Soalnya setahu Isna jadinya hari ini. Berarti malam minggu kan?"
"Iya juga sih. Kalau begitu, aku tanya lagi Heru.
"Oke, nanti kabari Isna lagi, ya!"
"Sip."
Setelah konfirmasi dengan Heru, ternyata aku yang salah. Acara ngeliwet di rumah Anwar, memang hari ini, jam 5 sore. Kan ngejar moment malam minggu, begitu katanya. 
Untung saja, aku tanya Isna sebelumnya. Kalau tidak, pasti aku akan kembali melewatkan moment ngeliwet kali ini.
Aku kembali melirik jam dinding yang ada di kamar, masih tersisa beberapa jam sebelum acara ngeliwet itu berlangsung. Rasanya masih cukup waktu untuk bersiap-siap. Meski bagiku, acara ini terkesan buru-buru. 
Tapi, tak apalah. Lebih baik begitu, serba dadakan dan lancar. Daripada direncanakan dari jauh hari, tapi akhirnya malah batal. Betul kan? Toh hujan sudah turun seharian, masa nanti sore mau hujan lagi? 
*****

Matahari masih bersinar cerah hingga sore ini. Ingin rasanya aku segera pergi ke tempat tujuan, mumpung hari masih cerah. Siapa tahu, cuaca bakal berubah dan hujan akan turun kembali. Ah tapi, aku kan harus menunggu Isna datang menjemputku. Lagipula, dia yang tahu rumah Anwar. Jadi, bersabar saja.
Sayangnya, semua kekhawatiranku benar-benar terjadi. Cuaca yang cerah, tiba-tiba  berangsur menjadi mendung dan gelap hanya dalam hitungan menit. Hujan pun kembali turun dengan derasnya. 
"Tuuh kan benar, hujan lagi!" keluhku sembari menengok jendela.
"Isna sudah sampai mana, ya?" lanjutku lagi
Sudah hampir pukul 5 sore, tapi belum ada kabar sedikitpun dari Isna. Mungkin dia sedang dijalan, jadi tidak sempat menghubungi. Atau mungkin, dia sedang berteduh di suatu tempat. Apapun dugaanku, menunggu dalam hujan itu selalu membuatku mengantuk.
Untunglah, Isna tiba di depan rumahku tidak lama berselang. Hujan juga masih belum berhenti, meski hanya menyisakan  gerimis. Biar begitu, kami harus tetap mengenakan jas hujan untuk mengantisipasi. Meski masih dalam satu wilayah tapi jarak antara rumahku dan rumah Anwar, lumayan jauh. 
Setelah itu, kami berdua bergegas pergi menuju ke rumah Anwar, khawatir kemalaman di jalan. Benar saja, adzan magrib sudah berkumandang tidak lama berselang. Padahal perjalanan yang kami lakukan masih belum ada setengahnya.
Hingga akhirnya, kami berdua tiba di tempat tujuan selepas magrib. Ada Heru dan Hinhin yang sudah datang lebih dulu. Sedangkan Adi masih nyasar, katanya. Entah tersasar dimana. Sementara itu, masih belum ada kabar dari yang lain.
Meski pada awalnya semua sepakat dengan menu seadanya, tapi tuan rumah bersikukuh mau belanja dan masak.
"Kasihan kalian, kan? Masa datang jauh-jauh tidak disediakan apa-apa?" kilah Anwar selaku tuan rumah.
"Iya, tapi sudah sesore ini mau belanja kemana?" sangkalku 
"Pasar Cikutra masih ada," kilah Anwar santai. 
"Laah, pasar Cikutra! Itukan rumah aku. Bukannya sekalian aja tadi?"
"Memangnya ada uang buat belanja?" celutuk Hinhin dengan polosnya.
"Ish.." balasku jengkel.
Entah kenapa, aku tidak pernah bisa akur dengan temanku yang satu ini. Sementara itu, Heru malah tertawa kocak, melihat ulah kami berdua. 
"Gimana maunya tuan rumah. Kita sih, ngikut aja" lerainya
"Kita ke pasar sekarang, yuk!" ajak Anwar pada Isna.
Selepas mereka pergi, tinggallah kami berempat. Karena Adi sudah sampai juga, barusan. 
*****

Cukup lama juga Anwar dan Isna pergi, kami berempat hampir lumutan menunggu mereka pulang. Namun diantara kami berempat, tentu akulah orang yang paling merasa bosan dengan semua kondisi ini. Bagaimana tidak? Selain menjadi perempuan satu-satunya di tempat itu, aku juga bosan melihat boys band reunian. Soalnya rumpian mereka tidak pernah jauh dari Griya Supermarket tempat kerja mereka. Kan mana aku ngerti, coba!
Ah ya, aku dan teman-teman yang lain memang selalu menyebut mereka boys band, sejak awal perkuliahan. Alasannya, bukan karena semuanya pandai menyanyi. Namun karena mereka selalu bertiga kemana-mana. Mirip boys band, hahaha...
Sebenarnya Huda yang pertama-tama menyematkan istilah ini. Tapi lambat laun, teman-teman lain mengikutinya, termasuk aku. Bukan hanya itu, Huda juga sering memanggil Hinhin dengan sebutan "Mas Boy". Lagi-lagi, sebutan itu juga terus menyebar dan mengakar ke seluruh antero kampus hingga sekarang. Sampai-sampai ada salah seorang adik angkatan kami yang memanggil Hinhin dengan sebutan aa mas boy, wkwkwk..
Terlepas iseng, atau memang dia menyangka kalau nama Hinhin itu memang benar-benar mas boy, semua itu tetap mengundang tawa dan keceriaan. Benar-benar konyol, sih! 
*****

Daripada bengong sendiri nggak jelas, akhirnya pepaya aku jadikan sasaran. Aku kupas habis sampe biji-bijinya. Hingga akhirnya, Anwar dan Isna kembali ke rumah pukul 8 malam kurang sedikit.
"Duuh, jam segini baru pulang dari pasar. Belum masaknya, belum makannya.... Mau pulang jam berapa, coba?" keluhku.
"Santai saja, mumpung malam minggu. Kalau perlu kita menginap saja, toh besok libur." balas Adi.
"Ah kalian kan laki-laki, lebih fleksibel. Semua hal bisa disesuaikan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Tapi kita kan perempuan, tidak bisa sesederhana itu," keluhku panjang lebar.
"Heeh," sangkal Isna yang setuju dengan keluhanku.
Kemudian, aku membantu Anwar dan Isna untuk mengeluarkan belanjaan. Ya ampun, mereka benar-benar belanja super mewah. Ada seekor ayam, tempe sepapan besar. Kalau menurut aku sih, itu lebih mirip buku tulis daripada tempe, wkwkwk... 
Lalu, ada kol sebulatan besar, katanya buat mengganti kangkung yang sudah habis dipasar. bumbu dapur dan bahan buat sambal. Ada juga dua bungkus besar kerupuk. Eh iya, masih ada asin juga tuh yang belum keluar dari kresek belanjaan. Waah, jadi masak beneran atuh kalo begini, mah.   
Sekarang kita berbagi tugas saja, biar cepat beres. Anwar dan Isna bertugas membersihkan dan membumbui ayam sebelum dibakar. Adi dan Heru yang membakar ayamnya, awas jangan sampai gosong, ya! Aku bertugas meracik semua bahan dan mengulek, ditambah Isna yang menggoreng dan Anwar yang membuat nasi liwetnya. Sisanya, bagian Hinhin yang cuci piring. Sayangnya, belum juga selesai percakapan ini, Hinhin sudah kabur duluan keluar melihat perapian yang disiapkan untuk membakar ayam.
"Ih Hinhin curang, nggak mau cuci piring!"
*****

Setelah semua orang bekerja keras selama hampir satu jam lebih, segala olahan sudah matang dan siap dihidangkan. Inilah moment yang paling kami tunggu sedari tadi, saatnya makan bersama.
Meski ada beberapa menu yang terasa sedikit kurang garam seperti nasi liwet dan sambal, yang justru keasinan seperti oseng kol. Tapi selebihnya masih tertolong oleh ayam bakar yang matang dengan pas. Tidak gosong dan tidak pula keasinan, hahaha...

"Siapa dulu chefnya!" kelakar Heru.

"Kalian sih, cuma membakar ayam saja susahnya minta ampun. Jadi terpaksa, chef harus turun gunung. Eh, turun tangan maksudnya." lanjutnya.
"Beuh sombong, seharusnya kita berterima kasih pada ayam yang mau bersahabat kali ini."
"Ah kalian, ada-ada saja."


Terlepas dari apapun menu yang terhidang, aku merasa cukup puas dan terhibur malam ini. Bukan lantaran menunya yang istimewa, namun moment kebersamaan inilah yang sangat berharga dan tidak akan bisa digantikan oleh apapun. 



Kalaupun suatu saat nanti, kami bisa berkumpul dan memasak bersama lagi. Toh momentnya tidak akan bisa sama seperti saat ini. Seperti yang selalu Heru bilang sejak awal, "Yang penting silaturahminya, kapan lagi!"

Yup setuju, semoga kekeluargaan ini tidak akan berakhir begitu saja, hanya karena semua orang sudah sibuk dengan urusan masing-masing dan menyandang gelar Sarjana Teknik. 
*****



                                                                                                   Cimenyan, 3 Maret 2018




Minggu, 06 November 2016

Jepang Rasa Jatinangor

Padatnya rutinitas dan tugas kampus yang menumpuk, sering kali membuat kepala ini terasa pening. Ingin rasanya sedikit refreshing atau hanya sekedar jalan-jalan melepas penat. Tapi kemana, lalu budgetnya? Hingga pada suatu hari, Hakim memposting sebuah poster yang menarik perhatian kami semua.



"Waah, ada festival kebudayaan jepang!"
"Kayaknya bakal seru tuh!"
"Kita kesana yuk, hitung-hitung refreshing,"
"Ayo... Ayo,"
"Asyik, kita mau piknik!"

Semua orang sudah sepakat mau ikut. Kini tinggal menentukan waktu yang tepat untuk melakukan reservasi. Ternyata, kami mendapatkan jadwal hari jumat sekitar pukul 10-11 siang. Untuk itu, kami sudah janjian di shelter bus DAMRI Dipati Ukur sekitar pukul 8 pagi. 
Sayangnya kesibukanku di pagi hari membuat aku merasa kesulitan untuk bisa datang tepat waktu. Ditambah adanya pasar dadakan di seputaran kompleks PUSDAI membuat perjalanan ini semakin tersendat. 
Aah, maafkan aku, genks... 
Maka pada saat aku datang, kami langsung naik bus DAMRI trayek Dipati Ukur - Jatinangor via Tol M. Toha yang masih kosong. Sebelum penumpang lain datang, kami sibuk berfoto selfie. Maklum saja, Indah dan Huda baru pertama kalinya naik bus DAMRI. Sedangkan aku dan Hakim memang sudah terbiasa dengan alat transportasi yang satu ini.
"Waah, ternyata nyaman juga naik bus DAMRI seperti mobil pribadi!" celutuk Huda.
Saking nyamannya perjalanan dan sejuknya AC membuat Indah hampir ketiduran, kalau saja tidak kami ganggu.




"Ayolah, perjalanan hanya sekitar 1-1,5 jam. Masa tidur juga?"
"Iya ih, mening nikmatin perjalanannya. Kapan lagi?"
"Bener, mending kita beli Tahu Sumedang saja buat oleh-oleh, hehehe..."
"Kan ceritanya kita lagi liburan di Jepang, kenapa malah beli tahu Sumedang?"
"Iya juga ya, ahaha..."
"Lagipula gimana mau belinya, toh bus DAMRI nya juga tidak berhenti didekat pedagang tahu, wkwkwk.."

Tiba di tempat tujuan, terik mentari mulai terasa menyengat. Entah sudah berapa lama aku tidak pernah berkunjung lagi ke kampus ini. Namun bagiku, suasananya tidak banyak berubah, masih tetap gersang seperti dulu.
"Waah, luas sekali kampusnya! Bisa tersesat kalo begini caranya,"
"Iya, beda banget sama kampus kita tercintah, ahahaha.."
"Pst, jangan pasang tampang bengong dan ndeso kaya gitu, malu-maluin!"
"Iya, pasang tampang pede aja, pura-pura jadi anak UNPAD beneran." 
Diantara kami berempat, mungkin hanya aku seorang yang paling familiar dengan situasi di tempat ini. Aku pun mengajak mereka bertiga menuju ke tempat tujuan semula, yakni PSBJ (Pusat Studi Bahasa Jepang). 
Kami melangkah santai sambil menikmati pemandangan di sekeliling. Tidak sedikit orang yang berpapasan dengan kami. Mereka juga pasti punya tujuan sendiri, sama seperti kami. 
"Klo itu kendaraan ke arah mana? Ko, berada di lingkungkan kampus?"
"Kendaraan yang mana?"
"Itu lho yang kita lihat saat memasuki gerbang depan?"
"Mmm, aku kurang tahu. Soalnya dulu belum ada,"
Beberapa kendaraan serupa tampak berlalu lalang di dekat kami, sambil membunyikan klakson sekali-kali. Usut punya usut ternyata semua kendaraan itu memang transportasi gratis yang disediakan pihak kampus untuk mahasiswa dan semua civitas akademik.
"Waah enak banget ya, nggak usah cape-cape jalan kaki menuju tempat kuliah."




"Berarti, orang-orang yang bergerombol di pintu gerbang tadi itu menunggu mobil gratis ya? Ah, kenapa nggak ikutan saja biar nggak cape jalan."
"Iya, ntar disapa sapa supirnya. Mau ke mana? fakultas apa? angkatan tahun berapa? Tinggal celingukan sendiri dah, hahaha..."
"Pantesan aja, mobil-mobil itu ngelaksonin, disangkanya kita mau ikutan naik, wkwkwk.." 
Sampai di PSBJ kami kebingungan, ternyata event festival kebudayaan jepang itu tidak hanya sesi foto saja. Ada pameran, seminar, makan-makan dan masih banyak lagi yang lainnya. Ups, jangan digaris bawahi point makan-makannya. Maklum saja, kami datang jauh-jauh dari Bandung sejak pagi dan belum sarapan.
Setelah kasak kusuk dan tanya sana sini, rupanya kami salah tempat. Sesi foto ala Jepang yang akan kami ikuti berada di Studio Foto. Lalu, di mana studio fotonya? Untunglah salah seorang panitia mengantarkan kami ke tempat yang di tuju. 
Tapi ternyata, bukan studio foto seperti yang ada dalam bayangan kami. Namun berupa rumah tradisional khas jepang dengan segala aksesoris ala jepang lainnya, seperti kimono, yukata, samurai dsb. 
Peserta sesi foto memang tidak banyak namun kami harus mengantri untuk menunggu giliran. Padahal waktu sholat jumat sudah semakin dekat. 
"Aah semoga waktunya masih cukup buat sholat jumat, ya!"
Sebelumnya, kami diminta mengenakan yukata yang telah disediakan panitia. Kami boleh memilih warna yang kami suka. Untunglah ada beberapa orang panitia yang membantu kami memasangkannya dengan sigap. Coba kalau memasang sendiri, pasti nggak akan kelar mpe sore, hehe..






Usai sesi foto, Huda dan Hakim bergegas menuju mesjid kampus. Sementara aku dan Indah menunggu keduanya di rerumputan yang ada di pelataran mesjid, sambil menikmati bekal seadanya. Begitu mereka selesai, giliran kami berdua yang shalat dhuhur.
Hari sudah semakin siang, tapi kami tidak ingin segera pulang. Kami masih ingin menikmati suasana kampus yang sudah tidak asing lagi di negeri ini, sambil menikmati beberapa jajanan yang sudah kami beli di dekat kampus. 
Sekitar pukul 2 siang, kami beranjak pulang sebelum hujan gerimis semakin menderas. Kali ini, suasana bus DAMRI jauh lebih penuh dari saat pergi, tadi pagi. 
Pengalaman hari ini memang sederhana atau mungkin menjadi hal yang lumrah bagi orang lain, tapi menjadi hal yang berkesan bagi kami.  



Jatinangor 7 Oktober 2016





Rabu, 14 September 2016

Korea IT Volunteer part 3

Main sudah, mencicipi kuliner juga sudah. Tapi kalau belum menyempatkan diri jalan-jalan di kota Kembang? Rasanya, masih ada yang kurang. Padahal Bandung dikenal dengan keindahan alamnya.
Kali ini kami mengajak Bonchul Shin, cs berjalan-jalan menuju ke Taman Hutan Raya Ir H Juanda Bandung. Alasannya, pertama dekat dengan kampus. Kedua Taman Hutan Raya Ir H Juanda merupakan salah satu tempat bersejarah yang dimiliki bangsa Indonesia.
Seperti di hari minggu lainnya, lingkungan kampus kami memang menjadi salah satu bagian dari kawasan Bandung Car Free Day. Sehingga akses jalan menuju kampus cukup tersendat. Maka dari itu, kami akan cukup kesulitan untuk sampai lebih cepat di kampus seperti hari-hari biasa.
Apabila ada sebagian dari kami yang menggunakan kendaraan bermotor, dia harus datang sebelum ataupun sesudah acara Bandung Car Free Day itu berlangsung. Jika tidak, dia harus menuntun motornya dari arah atas (Simpang Dago) maupun dari arah bawah (Gazibu - jembatan Pasopati).
Begitu pula dengan teman-teman yang menggunakan kendaraan umum. Mereka juga harus turun di kedua tempat tadi. Lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, sambil menikmati suasana Bandung Car Free Day  yang segar dan ramai.
Nah sambil menunggu teman-teman lain yang belum datang, kami mengajak Bonchul Shin, cs berjalan-jalan di sekitar kampus. Mereka berempat terlihat cukup senang dan antusias. Hampir saja, kami kehilangan jejak mereka karena ikut berbaur diantara warga Bandung dan pengunjung Car Free Day.
Tanpa disangka, kehadiran Bonchul Shin, cs mengundang berbagai reaksi dari para pengunjung Car Free Day. Ada yang terus memperhatikan tanpa berkedip. Mungkin, dia merasa tidak percaya bisa melihat orang Korea secara langsung. Padahal biasanya dia hanya melihat orang Korea melalui tayangan K-Drama atau K-Movie di televisi.
Ada pula yang memberanikan diri menyapa mereka dengan bahasa Korea seadanya, Anyeong. Namun ada sebuah kejadian lucu yang mengundang senyum kami. Yakni ketika seorang anak kecil berlari-lari mencoba mengejar langkah kami.
Dengan nafas yang terengah-engah, dia menyodorkan pena dan selembar kertas pada Park Geon Dok. Tentu saja Park Geon Dok kebingungan, sementara dirinya tidak mengerti bahasa Indonesia sama sekali.
“Maybe, he want ask your signature,” saran Bonchul Shin
“Ooh.. My Signature?” tanya Park Geon Dok heran.
Biar begitu, dia tetap menuruti saran sahabatnya. Membubuhkan tanda tangan dengan beberapa kata berbahasa korea pada kertas tadi. Sedangkan anak itu terlihat sangat puas. Tak lama kemudian, sosoknya sudah kembali menghilang, dengan sebuah senyuman terkembang dari raut wajahnya yang menggemaskan.
Seriously, he thought I was an artist.” kelakar Park Geon Dok. Kami semua tertawa. Perjalananpun dilanjutkan kembali. Kali ini kami melewati sebuah toko sport yang sengaja membuka lapak di luar toko.
“Wait for me. Just for a minute, okey?”  Pinta Bonchul Shin.
“Please wait for me! Only a while,” katanya lagi.
“Okey. No problem,”
Dia berlari kecil meninggalkan kami, lalu ikut berbaur dengan pengunjung lain dan memilih beberapa t-shirt. Sedangkan Park Geon Dok hanya memperhatikan ulah sahabatnya.
“Ah, what he is doing?” gerutunya
Namun lama kelamaan Park Geon Dok menghampiri sahabatnya, lalu ikut memilih t-shirt juga. Ah, mereka berdua ada-ada saja. Tapi ngomong-ngomong di mana Hye Min dan Aceng? Ternyata keduanya sedang asyik mencoba kuliner khas Bandung di seberang jalan.
“Thank you, has waiting for me,” katanya senang.
“Never mind. we are happy to enjoy the atmosphere like this,” balasku
In this place,  the stuff is more cheaper. I buy two t-shirt,” ujar Bonchul Shin.
“I buy one too,” ucap Park Geon Dok tak mau kalah.
Kami kembali tertawa.
Ah senangnya bisa menikmati suasana pagi yang segar seperti ini. Sangat nyaman karena tidak ada kendaraan.
“Any moment like this in Korea?” tanyaku ingin tahu.
“Yes, we have too. But just three or four times for a year,” jawab Bonchul.
“Oh ya? In our city, Car Free Day event like this is routinely done every Monday , for many years.”
Ah how happy to be a citizen of Bandung . In addition to the comfortable atmosphere and cool, the people are also welcoming and friendly,” ucap Bonchul.
 What do you like living in Bandung,”
 “Of course. I’m want stay in here forever and became a part this city.”
“Really,”
Bonchul mengangguk pasti sambil melemparkan senyum pada kami.
******

Hari sudah semakin siang, sehingga kami putuskan untuk kembali ke kampus. Siapa tahu, teman-teman yang lain sudah menunggu. Sayangnya, belum belum ada siapa-siapa di kampus. Hingga akhirnya, kami putuskan untuk pergi ke Taman Hutan Raya Ir H Juanda saat itu juga.  


Awalnya, kami akan menyewa angkot sampai terminal Dago. Sayangnya, jarak antara  terminal Dago dengan pintu gerbang Taman Hutan Raya Ir H Juanda cukup jauh. Sehingga kami putuskan untuk menggunakan motor saja. Namun karena jumlah kami yang ganjil, tetap saja kami kebingungan untuk pergi. Hingga akhirnya diputuskan, sebagian dari kami ada yang naik angkot. Dengan catatan, siapa yang datang duluan akan menjemput kami di terminal Dago.  
Sayangnya kami terlalu asyik menikmati keadaan di sekeliling Taman Hutan Raya Ir H Juanda, hingga lupa berfoto. Aah bukan begitu, justru mereka yang terlalu asyik berfoto hingga melupakan aku yang menjadi juru foto dadakan buat mereka, ahaha.. 


Dari Taman Hutan Raya Ir H Juanda, kami lanjutkan perjalanan menuju ke Maribaya. Karena kebetulan jalurnya searah. Kami sengaja memilih berjalan kaki untuk menuju ke sana. Selain bisa menikmati pemandangan di sekeliling, kami juga bisa mengobrol santai. Sehingga kami bisa melupakan lelah selama perjalanan.



 
Suasana Maribaya yang tenang dan sejuk membuat kami betah dan tidak ingin pulang. Tanpa terasa, hari sudah semakin sore. Pantas saja badan ini sudah mulai kelelahan dan kelaparan, sudah saatnya kami pulang.
Terima kasih atas kebersamaannya. Kenangan hari ini, tidak akan terlupakan hingga kapanpun..



Bandung, Agustus 2014






Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan. "Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mu...