Sabtu, 11 Agustus 2012

Senyum Bahagia

Dering itu memecah keheningan pagi. Kinoy yang sibuk mengeringkan rambut diteras paviliun rumah, kalang kabut mencari ponsel miliknya. Dan seperti biasanya, dia lupa dimana ia menaruh ponsel miliknya itu. Nona lupa, begitulah julukan yang diberikan Tegar, sahabatnya. Tegar paling kesal kalau melihatnya, lupa menaruh suatu benda pada suatu tempat. Karena ujung-ujungnya dia sendiri musti ikut pusing nyari.
Jika tidak, dirinya harus bertanggung jawab membawa semua barang itu pulang dengan selamat. Tapi mau gimana lagi, penyakit yang satu ini memang betah banget mukim dikepala Kinoy. Setidaknya, Tegar masih tetap bersyukur karena masih ada orang yang mau berteman baik dengan dirinya.
“Hhh, Tegar? Tumben tu anak pagi-pagi nelpon, gak biasanya,” kilah Kinoy heran.
“Assalamualaikum Warohmatulahi Wabarokatu…,” ucap suara diseberang sana dengan nyaring dan lantang. Memang begitulah kebiasaan Tegar sedari dulu, mengucapkan salam dengan lengkap dimanapun berada.
“Waalaikum salam. Ngapain?” tanya Kinoy lagi ketus.
“Maaf Noy, aku ganggu ya! Lagi sibuk ngapain?”
“Nggak sih, cuma baru beres mandi tinggal bersolek doang, kenapa?
“Wah asyik dong, kalo tau gitu mending cabut aja kesana!”
“Ngapain?”
“Mo liat situ, past belom pake baju, hi…hi…,”
“Husy, enak aja. Coba aja kalo berani! Mo dipecat jadi sahabat?”
“Aduh, jangan atuh. Jangan ngambek ya… becanda. Eh gimana Noy, da kerjaan buatku gak?” sambungnya.
“Uuh, dari dulu nanyanya itu mulu. Emang gak ada pertanyaan lain, napa? Nanyain kabar aku ke atau siapa, gitu!”
“Yaa, gimana dong! Sekarang kan lagi butuh kerjaan…,”
“Lho, bukannya bulan lalu aku kasih info?”
“Duh Kinoy… masa aku disuruh ngelamar kerjaan buat ditempatin di British?? Kan jauh… emang mau aku tinggalin?”
“Ooh gitu, jangan atuh. Ntar aku kesepian, gak ada yang bisa direcokin, diomelin, dimarahin. Tanpa dirimu, aku bagai….,” ucap Kinoy  tak meneruskan ucapannya.
“Halah, kumat deh puitisnya,” potong Tegar.
“Eh emang,  aku salah ngasih info ya?”
“Heeh. Noy…, beneran kan mau jadi sahabat aku?”
“Yup, emang kenapa sih keliahatannya serius banget!”
“Iya nih, soalnya berkaitan ama hidup dan mati.”
“Hah, seserius itukah? Masalah apa sih?”
‘Noy, beneran mau bantu aku kan? Aku percaya 100% kan kita sahabat,”
“Iya, apaan. Jangan berbelit-belit gitu, ah!”
“Kinoy… cariin aku jodoh dong!”
???
“Gubrak…”
“Eh, halo..halo…Noy, kamu gak papa,” suara Tegar terdengar panik
“Nggak, cuma panik doang! Emang beneran serius mo married?” balas Kinoy sambil mengusap-usap keningnya yang barusan kejeduk meja
“Kan udah bilang tadi, udah dulu ya!” putusnya terburu-buru.
“Eh..eh, tunggu! Kamu mau cari calon istri yang kayak gimana? trus tipe idamanmu seperti apa?” cegat Kinoy lagi
“Emm, gak tahu Noy belom kepikiran. Emang, harus ya!” aku Tegar polos
“Ya iyalah, gimana aku nyari kalo gak punya petunjuk sedikitpun,”
“Ooh gitu ya! ntar aja atuh kapan-kapan. Klik, telepon pun terputus.”
Kinoy cuma bisa bengong dan menarik nafas dalam-dalam. Kalo dipikir pikir, siapa yang sebenarnya aneh dirinya atau Tegar? Ataukah mereka berdua yang sama-sama aneh. Mungkin juga, hingga bisa sekompak ini.

   
Sejak menerima telepon tadi, tak ada hal lain yang Kinoy lakukan. Dirinya hanya diam mematung didepan cermin. Permintaan Tegar kali ini bukanlah hal mudah. Pikiran Kinoy, jadi melayang pada kejadian beberapa tahun silam saat dirinya baru pertama kali bertemu dengan Tegar. Seseorang yang datang ke kampus besar, hanya mengenakan kaos oblong putih plus kacamata serta sendal jepit karet.
Benar-benar sederhana. Namun siapa sangka kalau ternyata mereka sama-sama berada dalam kelas dan fakultas yang sama.hingga sampai saat ini mereka bisa jadi sedekat ini. Kini, mereka berdua jadi tim yang solid, kemana-mana selalu berdua, membuat beberapa pasang mata iri.
Awalnya Kinoy merasa risi, akan kedekatan mereka. Tapi orang yang disampingnya itu Tegar. Dan orang yang semacam itu, tak pernah mau peduli apa kata orang. Bahkan Tegar sendiri tak pernah mempermasalahkan itu. Sejauh ini, kedekatan mereka baik-baik saja dan tidak ada orang lain yang dirugikan. Jadi apa salahnya?
“Hhh, calon istri buat dia? Ngg … nggak tahulah, aku bingung!” desah Kinoy
Entah kenapa, permintaan Tegar kali ini membuatnya teringat pada Atma, sosok yang pernah dekat dengannya. Dulu, Atma juga selalu menanyakan hal yang sama, bertanya tentang lowongan pekerjaan dan tak pernah lupa bercerita tentang pengalamannya melamar dari satu tempat ke tempat lain. Dan satu hal yang tak pernah Atma lupakan, yaitu meminta Kinoy untuk mendoakannya.
Namun setelah mapan, Atma malah menikah dengan orang pilihannya. Mungkin selama ini Kinoy berharap terlalu jauh, hingga kejadian tersebut cukup membuatnya terpukul. Memang seperti itulah skenario diatas sana tak pernah bisa diduga.
Dan sekarang, Kinoy jadi sering merasa dihantui oleh peristiwa tersebut. Padahal seharusnya dirinya tak boleh merasa begitu. Toh tak ada kesepakatan mengenai hati, antara dirinya dengan Tegar. Bukankah, selama ini mereka berdua hanya menjalani apa adanya. Jadi siapapun boleh memilih orang lain, siapa saja untuk menjadi belahan jiwanya.  
Sejujurnya, Kinoy tak dapat menepis perasaan tak rela, seandainya Tegar ingin bersama dengan orang lain. Kinoy tahu, bukan inginnya untuk menghalangi niat tulus sahabatnya. Apalagi sampai ingin memiliki, tidak…tidak pernah sedikitpun terlintas dikepalanya. Hanya saja, selama ini dirinya sudah terbiasa melihat Tegar selalu berada disampingnya.
Lagi pula, untuk apa? Toh selama ini, justru Tegar lebih sering memperlakukan dirinya seperti seorang laki-laki. Tegar tak pernah sadar kalau orang yang ada disampingnya itu seorang perempuan dengan balutan jilbab dikepala.
Mungkin Tegar memang merasa nyaman dengan keadaan mereka yang sepert ini. Justru Tegar akan terasa canggung dan tak nyaman bila beranjak lebih jauh lagi. Dan mungkin saja hubungannya dengan Kinoy tidak sebaik sekarang.
Seharusnya Kinoy tak boleh merasa egois. Sebagai seorang sahabat, sudah sepantasnya bagi dirinya untuk memaklumi semua ini. Dia harus memilihkan orang yang tepat untuk sahabatnya. Seseorang yang bisa memahami Tegar apa adanya, seseorang yang bisa merawat dan menjaga Tegar. Serta yang terpenting bisa membuatnya tersenyum bahagia. Sama halnya seperti yang telah Tegar lakukan pada dirinya yaitu selalu membuat dirinya tersenyum bahagia. Moga Allah, segera mempertemukan Tegar dengan bidadari syurganya….


Beranda Azalea, 5 Djulhijah 1429 H
Addicated for somebody who make me smile and happy
                                                                      
                                                    

The Last Miss Call

Sore itu di pelataran rumah singgah kita, tak ada siapa pun disana. Hanya menyisakan kita berdua dan sinar mentari yang hendak kembali ke peraduan.
“Akhirnya aku dapat kerjaan…,” katamu sumrigah
“Syukurlah, dimana?”
Kamu diam sejenak, “Mmm, kapan kau kembali ke kota hujan?” tanyamu lagi mencoba mengalihkan perhatian.
Aku menggeleng, “Proyekan di sana sudah usai. Lagipula, atasanku mutasi ke kota lain.”
“Ooh, begitu ya!” balasmu sedih.
“Memang kenapa? tak biasanya kau tertarik membicarakan hal seperti ini?”
“Aku…aku… mendapat pekerjaan disana,” ucapmu terbata.
“Apa…? Lalu..lalu aku bagaimana? Apa kau tega meninggalkanku seorang diri disini?” protesku lagi.
“Yaa..sudah kuduga,” katamu lirih.
Bila kau sudah dapat memperkirakan hal tersebut, tapi tidak denganku. Aku tak pernah menduga akan kehilanganmu secepat ini. Bukankah selama ini, kita sama-sama saling mengingatkan dan saling menguatkan. Dan bila kau sudah tak ada disini lagi, itu berarti aku harus menghadapi semua ini… sendirian.
Andai kau tahu, tak mudah bagiku untuk mencari penggantimu. Orang bilang, seribu musuh akan mudah kau dapatkan, sedangkan satu sahabat, tentu akan sulit kau pertahankan. Tahukah kau, menaruh sebuah kepercayaan pada seseorang tidaklah mudah.
Aku hanya bisa diam, menunduk. Tanpa perlu kata, tentu kau sudah bisa menebak apa yang kupikirankan. Sejak dulu, aku memang tak pernah bisa menyembunyikan apapun di depanmu.
“Tapi, kapan lagi aku mendapatkan peluang sempurna seperti ini. Jadi pendidik…seperti yang aku idamkan seperti dulu. Kau tau kan?” tandasmu lagi
“Tentu. Tentu aku tahu betul, apa yang menjadi idamanmu sejak dulu. Bagaimanapun aku akan selalu mendukungmu.” ucapku berusaha tersenyum.
Matamu ikut berkaca-kaca, berusaha tersenyum bangga.
“Tenang saja, aku tak pergi jauh. Kalau rindu, kita masih bisa saling menelepon atau berkirim pesan. Lagipula kota hujan hanya berselang beberapa jam dari sini. Bukankah ini lebih baik, daripada aku harus pergi ke ujung timur pulau ini?”
Aku menggangguk lemah.
“Lalu, kapan kau pergi?”
“Entahlah tapi awal bulan depan aku harus sudah berada disana.”
“Cepat sekali..”
“Ya begitulah. Aku masih mencintai tempat ini, aku masih ingin punya waktu untuk bersama-sama kalian selama mungkin. Tapi…,” kau tak meneruskan perkataanmu.
****

Kupaksa mata ini terbuka, saat terdengar suara adzan awal dari kejauhan. Sebenarnya, bukan itu yang menjadi penyebabnya tapi karena ponsel yang berada didekatku berdering tiba-tiba.
“Haa.. kau lagi!! Gak ada kerjaan amat sih!” umpatku kesal.
Untung saja, suasana yang tenang dan dingin membuatku merasa sedikit lebih baik. Andai kau tahu, inilah moment yang paling nyaman dalam hidup kita. Ketika Allah mengabulkan do’a-doa kita semua yang kemudian diaminkan oleh para malaikat.
Sayang, hanya sedikit saja orang yang mau menyadari, termasuk diri ini. Kita lebih memilih melanjutkan mimpi indah, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Kali ini, rasanya sulit bagiku untuk kembali memejamkan mata. Apalagi sampai tertidur lelap. Aku memilih diam dibalik selimut hangat, tanpa aktifitas berarti hingga waktu fajar tiba.
Namun, selepas fajar, waktu terasa berjalan begitu tergesa. Rutinitas pagi, cukup menyita perhatianku hingga tak sempat mengecek ponsel. Tanganku segera meraih ponsel, untuk memastikan kalau tidak ada janji yang aku lewatkan hari ini, atau mungkin ada pesan yang masuk, siapa tahu.
Ah ternyata benar! Kau mengirim sebuah pesan singkat lagi.    
 “…stasiun…05:45..”   
Maksudnya, apa? Butuh beberapa menit bagi otakku untuk mencerna pesan itu dengan mudah. Ya Allah…! Bukankah itu waktu keberangkatanmu menuju kota hujan?
“Ampun, setengah jam lagi!!” pekikku sembari mendongak ke arah jam dinding, refleks.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera menyambar sebuah jaket parasit untuk menghalau dinginnya udara pagi. Kemudian, bergegas menuju stasiun.
“Ah, semoga masih ada waktu!” desahku penuh harap.
****

Lengkingan peluit, terdengar begitu nyaring diantara hiruk pikuknya ratusan orang dengan berbagai keperluannya tersendiri.
Kutemukan kau duduk sendirian bersama sebuah travel bag besar. Sedangkan, tas rangsel yang lebih kecil tetap bersarang dibahumu. Senyummu terkembang saat melihat aku datang tergesa.
“Sepagi ini?”
Kau mengangguk.
“Mana yang lain?”
Kau hanya menggeleng, “Sengaja, tak kuberitahu.”
“Apa?”
“Sudahlah. Aku tak ingin merepotkan kalian semua.”
“Tapi aku…”  
“Duduklah, hanya tinggal empat menit lebih tujuh detik lagi.”
Aku menurut saja, duduk disebelahmu. Diam, membisu.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan mengambil sebatang coklat. Kucoba ulurkan ke hadapanmu. Trik seperti ini, biasanya selalu berhasil mencairkan keadaan. Tak sepotong coklat pun yang bisa selamat, bila sudah mampir dihadapanmu.   
Sayang, kali ini tak berhasil. Kau tetap diam. Baru kali ini, aku melihatmu sedikit berbeda, tampak lebih serius. Aku seperti tak mengenalmu saja.
“Jangan berikan apapun untukku,”
“Hanya untuk sarapan di perjalanan?” aku setengah memaksa.
Kamu tetap menggeleng sambil berusaha tersenyum.
“Tahukah kau, betapa beratnya bagiku untuk pergi dari tempat ini.  Bahkan sebutir nasi pun bisa memberatkan aku untuk pergi. Jadi, jangan bekali aku dengan apapun hingga aku bisa pergi tanpa beban.” tegasmu.
“Baiklah.” Aku mengalah.
Kau segera bangkit, ketika mendengar aba-aba bahwa kereta yang akan kau tumpangi akan segera berangkat.
“Kau tak akan menungguku, kan?” tanyamu mencoba menggoda.
“Yaa… enggaklah! Ngapain, harus setia sama orang aneh seperti kamu.”
“Lha, bukannya kamu sendiri juga aneh?”
“Iya kali ya! Baru nyadar, he…he…”
Empat menit lebih tujuh detik terasa melaju lebih cepat dari yang seharusnya. Hanya dalam hitungan detik, kepalamu sudah melongok diantara puluhan jendela yang berderet. Tanganmu melambai-lambai mengisyaratkan, agar aku segera mendekat.
“Ngapain lagi?”
“Ada yang lupa!”
“Apa? Pasti, lupa ngasih kenang-kenangan buatku ya!” celotehku.
“Bukan itu, tapi…
“Tapi…apa?” aku mulai penasaran.
“Tapi .. bila sudah tiba masanya nanti, kau harus mengenalkan belahan jiwamu itu padaku.”
“Setuju! Kau juga..!
 “Benar. Mulai saat ini, sebaiknya kita jalani hidup kita masing-masing.”
“Lho, bukannya dari dulu juga seperti itu?”
Ha..ha..
Lambat laun, kereta mulai bergerak makin lama makin cepat hingga bayangannya hilang ditelan kabut. Aku hanya tersenyum simpul. Kau memang tak pernah berubah, selalu tersenyum ceria,  apapun suasana hatimu.
****

Kabar tentang kepergianmu, mulai merebak di rumah singgah kita. Dengan beragam reaksi penghuninya. Ada yang heran dengan kepergianmu yang tiba-tiba, ada yang tak peduli sedikit pun, dan ada pula yang bersyukur ketika kau menghilang.
Aneh! Aku makin tak mengerti, kenapa masih ada orang yang tak bersimpati pada orang sepertimu. Aku kembali teringat obrolan kita, dulu. Ketika kita membahas tentang rasa suka dan benci. Obrolan yang cukup alot hingga membuat kita lupa waktu.
 “Apa yang akan kau lakukan bila tahu ada orang yang membencimu?” tanyaku ingin tahu.
“Ah, biarkan saja! Orang sesempurna Rasulullah pun, masih banyak yang membenci, apalagi orang sepertiku.  Asal jangan kita sendiri yang membenci orang lain.” tanggapmu santai.
Apa yang kau ucapkan, memang benar adanya.  Akan terus kuingat ucapanmu sampai kapan pun. Apalagi ketika rasa benci mulai bersarang dalam hatiku.
Tak terasa, sudah dua Ramadhan kau mengembara di kota hujan. Selama itu pula, tak secuil kabar tentang dirimu yang aku dapatkan. Entahlah, sesibuk apa aktifitasmu disana. Hingga tak punya waktu untuk menghubungiku lagi.
Kini, ponselku selalu sepi. Tak ada lagi miss call, pesan singkat apalagi telepon yang biasa membuatku cemberut tiba-tiba atau tersenyum sekalipun. Semuanya terasa datar, seperti jalur rel kereta yang kau tinggalkan.   
****

Jalanan masih lengang selepas hujan lebat tadi siang. Titik hujan masih menetes, diantara pagar, ranting dan dedaunan. Aku sengaja duduk sendiri di pelataran rumah singgah  sambil menikmati hangatnya secangkir coklat yang masih mengepul. 
Kulirik kembali ponsel yang masih tergeletak di atas meja, masih saja tetap tak bersuara. Hawa dingin makin menyelusup, aku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan agar terasa lebih hangat.
Hening. Tak ada yang dapat kudengar selain rintik air yang tumpah dari langit. Pandanganku kembali menerawang, namun hanyalah deraian gerimis yang aku kenali. Irama hujan selalu mengingatkan aku pada dirimu.
Dinginnya udara, membawa anganku melayang pada kejadian masa silam, ribuan detik jelang kau pergi. Aku tak pernah menyangka kalau saat itulah, miss call terakhir darimu.
Hanya dalam hitungan detik pula, kulihat sebuah bayangan seseorang muncul dari kejauhan, dengan sebuah senyuman terkembang di bibirnya bersama sebatang coklat ditangannya. Perlahan-lahan, bayangan itu semakin mendekat, kemudian menghilang dihadapanku. Ah, ternyata hanya ilusi.
****

Bandung, 26 Januari 2009
* Hanya untuk mengenang petualangan seru di kota hujan

Sama Saja

Entah  angin apa yang membawa orang seperti  dia, bisa mau menjadi pembimbingku. Padahal kita semua tahu kalau kita berdua, sama-sama berasal dari dua kubu yang berbeda. Dia yang  familiar dengan kesusatraannya sedangkan aku yang familiar dengan dunia anak-anak. Benar-benar sangat bertentangan.
Terlepas, dari tawarannya dulu saat mengajakku bergabung ke kelompoknya. Dia memang baik dan ramah pada siapapun. Hingga aku tak pernah enggan untuk terus belajar kepadanya. Biarpun, belum satu pun hasil karyaku yang  dia anggap bagus apalagi layak muat.
Pujian mungkin sudah menjadi hal tabu untuk dia sebutkan untuk mengomentari naskah milik anak didiknya. Paling dia hanya menyebut lumayan dan  selebihnya akan dihiasi dengan beberapa kejelekannya yang berderet- deret. 
Di ujung komentarnya, dia selalu berpesan “Perbaiki lagi naskahnya, nanti serahkan lagi pada saya.”
Aku hanya bilang “Iya, pak…!”
Andai dia tahu, sebenarnya salah satu alasan kenapa  kemampuan menulisku ini tak pernah berkembang pesat, Yaa begitulah… malas memperbaiki naskah yang sudah ada.
Menurutku, memperbaiki naskah itu seratus kali lebih sulit  daripada membuat naskah baru. Daripada memperbaiki naskah yang sudah ada lebih baik mencari ide lain yang lebih segar. Ujung-ujungnya, banyak naskah yang tak pernah rampung.
Usut punya usut, ternyata hobi yang menyesatkan ini bukan hanya milikku seorang. Hampir semua teman-temanku terutama teman yang satu kelompok ikutan setuju.
Ditambah keluhan dari seorang sepupuku. Kebetulan dia seorang penjahit pakaian. Lengkaplah sudah semua alasannya. Membuatku seperti berada diatas angin. Toh, banyak pihak yang setuju dengan pendapatku.
“Aku lebih suka membuat bentuk gaun dari kain yang masih berbentuk bahan utuh  daripada harus memperbaiki bentuk yang sudah ada.” akunya suatu waktu.
Heuh ternyata …., nggak penulis nggak penjahit keluhannya sama saja  
Oh ya, balik lagi ke pembimbingku. Dia itu, selalu menyuruh kami, anak didiknya untuk mengirimkan karya ke beberapa media. Saking seringnya, kami sampai bosan mendengarnya. Kami pikir, dia itu menyebalkan dan terlalu rewel.
Padahal di luar itu semua, seharusnya kami bersyukur memiliki pembimbing yang begitu perhatian seperti dirinya. Sebenarnya, semua omelan dan kecerewetannya selama ini, demi kebaikan kami agar bisa ikut berprestasi. Dan seandainya, impian itu terwujud, tentunya dia adalah orang pertama yang akan bangga.
Ah, entah sudah berapa lama aku jadi anak bimbingnya. Ada satu keinginan untuk membuatnya bangga. Sayangnya, hingga saat ini pun, masih belum ada karyaku yang terlihat sempurna di matanya. Terkadang aku ingin menyerah saja. Namun dalam kesempatan lain, aku bertekad aku bisa membuatnya bangga  dalam  duniaku sendiri.

 
Beranda Azalea, 12 Desember 2009

Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan. "Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mu...