Entah angin apa yang membawa orang seperti dia,
bisa mau menjadi pembimbingku. Padahal kita semua tahu kalau kita
berdua, sama-sama berasal dari dua kubu yang berbeda. Dia yang familiar dengan kesusatraannya sedangkan aku yang familiar dengan dunia anak-anak. Benar-benar sangat bertentangan.
Terlepas, dari tawarannya dulu saat mengajakku bergabung ke
kelompoknya. Dia memang baik dan ramah pada siapapun. Hingga aku tak
pernah enggan untuk terus belajar kepadanya. Biarpun, belum satu pun
hasil karyaku yang dia anggap bagus apalagi layak muat.
Pujian
mungkin sudah menjadi hal tabu untuk dia sebutkan untuk mengomentari
naskah milik anak didiknya. Paling dia hanya menyebut lumayan dan selebihnya
akan dihiasi dengan beberapa kejelekannya yang berderet- deret.
Di
ujung komentarnya, dia selalu berpesan “Perbaiki lagi naskahnya, nanti
serahkan lagi pada saya.”
Aku hanya bilang “Iya, pak…!”
Andai dia tahu, sebenarnya salah satu alasan kenapa kemampuan menulisku ini tak pernah berkembang pesat, Yaa begitulah… malas memperbaiki naskah yang sudah ada.
Menurutku, memperbaiki naskah itu seratus kali lebih sulit daripada
membuat naskah baru. Daripada memperbaiki naskah yang sudah ada lebih
baik mencari ide lain yang lebih segar. Ujung-ujungnya, banyak naskah
yang tak pernah rampung.
Usut
punya usut, ternyata hobi yang menyesatkan ini bukan hanya milikku
seorang. Hampir semua teman-temanku terutama teman yang satu kelompok
ikutan setuju.
Ditambah
keluhan dari seorang sepupuku. Kebetulan dia seorang penjahit pakaian.
Lengkaplah sudah semua alasannya. Membuatku seperti berada diatas angin.
Toh, banyak pihak yang setuju dengan pendapatku.
“Aku lebih suka membuat bentuk gaun dari kain yang masih berbentuk bahan utuh daripada harus memperbaiki bentuk yang sudah ada.” akunya suatu waktu.
Heuh ternyata …., nggak penulis nggak penjahit keluhannya sama saja
Oh ya, balik lagi ke pembimbingku. Dia itu, selalu menyuruh kami, anak didiknya untuk mengirimkan karya ke beberapa
media. Saking seringnya, kami sampai bosan mendengarnya. Kami pikir, dia itu menyebalkan dan terlalu rewel.
Padahal di luar itu semua, seharusnya kami bersyukur memiliki pembimbing yang begitu perhatian seperti dirinya. Sebenarnya, semua omelan dan kecerewetannya selama ini, demi kebaikan kami agar bisa ikut berprestasi. Dan seandainya,
impian itu terwujud, tentunya dia adalah orang pertama yang akan bangga.
Ah, entah sudah berapa lama aku jadi anak bimbingnya. Ada satu keinginan untuk membuatnya bangga. Sayangnya, hingga saat ini pun, masih belum ada karyaku yang terlihat sempurna di
matanya. Terkadang aku ingin menyerah saja. Namun dalam kesempatan lain, aku
bertekad aku bisa membuatnya bangga dalam duniaku sendiri.
Beranda Azalea, 12 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar