Sabtu, 11 Agustus 2012

The Last Miss Call

Sore itu di pelataran rumah singgah kita, tak ada siapa pun disana. Hanya menyisakan kita berdua dan sinar mentari yang hendak kembali ke peraduan.
“Akhirnya aku dapat kerjaan…,” katamu sumrigah
“Syukurlah, dimana?”
Kamu diam sejenak, “Mmm, kapan kau kembali ke kota hujan?” tanyamu lagi mencoba mengalihkan perhatian.
Aku menggeleng, “Proyekan di sana sudah usai. Lagipula, atasanku mutasi ke kota lain.”
“Ooh, begitu ya!” balasmu sedih.
“Memang kenapa? tak biasanya kau tertarik membicarakan hal seperti ini?”
“Aku…aku… mendapat pekerjaan disana,” ucapmu terbata.
“Apa…? Lalu..lalu aku bagaimana? Apa kau tega meninggalkanku seorang diri disini?” protesku lagi.
“Yaa..sudah kuduga,” katamu lirih.
Bila kau sudah dapat memperkirakan hal tersebut, tapi tidak denganku. Aku tak pernah menduga akan kehilanganmu secepat ini. Bukankah selama ini, kita sama-sama saling mengingatkan dan saling menguatkan. Dan bila kau sudah tak ada disini lagi, itu berarti aku harus menghadapi semua ini… sendirian.
Andai kau tahu, tak mudah bagiku untuk mencari penggantimu. Orang bilang, seribu musuh akan mudah kau dapatkan, sedangkan satu sahabat, tentu akan sulit kau pertahankan. Tahukah kau, menaruh sebuah kepercayaan pada seseorang tidaklah mudah.
Aku hanya bisa diam, menunduk. Tanpa perlu kata, tentu kau sudah bisa menebak apa yang kupikirankan. Sejak dulu, aku memang tak pernah bisa menyembunyikan apapun di depanmu.
“Tapi, kapan lagi aku mendapatkan peluang sempurna seperti ini. Jadi pendidik…seperti yang aku idamkan seperti dulu. Kau tau kan?” tandasmu lagi
“Tentu. Tentu aku tahu betul, apa yang menjadi idamanmu sejak dulu. Bagaimanapun aku akan selalu mendukungmu.” ucapku berusaha tersenyum.
Matamu ikut berkaca-kaca, berusaha tersenyum bangga.
“Tenang saja, aku tak pergi jauh. Kalau rindu, kita masih bisa saling menelepon atau berkirim pesan. Lagipula kota hujan hanya berselang beberapa jam dari sini. Bukankah ini lebih baik, daripada aku harus pergi ke ujung timur pulau ini?”
Aku menggangguk lemah.
“Lalu, kapan kau pergi?”
“Entahlah tapi awal bulan depan aku harus sudah berada disana.”
“Cepat sekali..”
“Ya begitulah. Aku masih mencintai tempat ini, aku masih ingin punya waktu untuk bersama-sama kalian selama mungkin. Tapi…,” kau tak meneruskan perkataanmu.
****

Kupaksa mata ini terbuka, saat terdengar suara adzan awal dari kejauhan. Sebenarnya, bukan itu yang menjadi penyebabnya tapi karena ponsel yang berada didekatku berdering tiba-tiba.
“Haa.. kau lagi!! Gak ada kerjaan amat sih!” umpatku kesal.
Untung saja, suasana yang tenang dan dingin membuatku merasa sedikit lebih baik. Andai kau tahu, inilah moment yang paling nyaman dalam hidup kita. Ketika Allah mengabulkan do’a-doa kita semua yang kemudian diaminkan oleh para malaikat.
Sayang, hanya sedikit saja orang yang mau menyadari, termasuk diri ini. Kita lebih memilih melanjutkan mimpi indah, tanpa merasa bersalah sedikit pun.
Kali ini, rasanya sulit bagiku untuk kembali memejamkan mata. Apalagi sampai tertidur lelap. Aku memilih diam dibalik selimut hangat, tanpa aktifitas berarti hingga waktu fajar tiba.
Namun, selepas fajar, waktu terasa berjalan begitu tergesa. Rutinitas pagi, cukup menyita perhatianku hingga tak sempat mengecek ponsel. Tanganku segera meraih ponsel, untuk memastikan kalau tidak ada janji yang aku lewatkan hari ini, atau mungkin ada pesan yang masuk, siapa tahu.
Ah ternyata benar! Kau mengirim sebuah pesan singkat lagi.    
 “…stasiun…05:45..”   
Maksudnya, apa? Butuh beberapa menit bagi otakku untuk mencerna pesan itu dengan mudah. Ya Allah…! Bukankah itu waktu keberangkatanmu menuju kota hujan?
“Ampun, setengah jam lagi!!” pekikku sembari mendongak ke arah jam dinding, refleks.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera menyambar sebuah jaket parasit untuk menghalau dinginnya udara pagi. Kemudian, bergegas menuju stasiun.
“Ah, semoga masih ada waktu!” desahku penuh harap.
****

Lengkingan peluit, terdengar begitu nyaring diantara hiruk pikuknya ratusan orang dengan berbagai keperluannya tersendiri.
Kutemukan kau duduk sendirian bersama sebuah travel bag besar. Sedangkan, tas rangsel yang lebih kecil tetap bersarang dibahumu. Senyummu terkembang saat melihat aku datang tergesa.
“Sepagi ini?”
Kau mengangguk.
“Mana yang lain?”
Kau hanya menggeleng, “Sengaja, tak kuberitahu.”
“Apa?”
“Sudahlah. Aku tak ingin merepotkan kalian semua.”
“Tapi aku…”  
“Duduklah, hanya tinggal empat menit lebih tujuh detik lagi.”
Aku menurut saja, duduk disebelahmu. Diam, membisu.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan mengambil sebatang coklat. Kucoba ulurkan ke hadapanmu. Trik seperti ini, biasanya selalu berhasil mencairkan keadaan. Tak sepotong coklat pun yang bisa selamat, bila sudah mampir dihadapanmu.   
Sayang, kali ini tak berhasil. Kau tetap diam. Baru kali ini, aku melihatmu sedikit berbeda, tampak lebih serius. Aku seperti tak mengenalmu saja.
“Jangan berikan apapun untukku,”
“Hanya untuk sarapan di perjalanan?” aku setengah memaksa.
Kamu tetap menggeleng sambil berusaha tersenyum.
“Tahukah kau, betapa beratnya bagiku untuk pergi dari tempat ini.  Bahkan sebutir nasi pun bisa memberatkan aku untuk pergi. Jadi, jangan bekali aku dengan apapun hingga aku bisa pergi tanpa beban.” tegasmu.
“Baiklah.” Aku mengalah.
Kau segera bangkit, ketika mendengar aba-aba bahwa kereta yang akan kau tumpangi akan segera berangkat.
“Kau tak akan menungguku, kan?” tanyamu mencoba menggoda.
“Yaa… enggaklah! Ngapain, harus setia sama orang aneh seperti kamu.”
“Lha, bukannya kamu sendiri juga aneh?”
“Iya kali ya! Baru nyadar, he…he…”
Empat menit lebih tujuh detik terasa melaju lebih cepat dari yang seharusnya. Hanya dalam hitungan detik, kepalamu sudah melongok diantara puluhan jendela yang berderet. Tanganmu melambai-lambai mengisyaratkan, agar aku segera mendekat.
“Ngapain lagi?”
“Ada yang lupa!”
“Apa? Pasti, lupa ngasih kenang-kenangan buatku ya!” celotehku.
“Bukan itu, tapi…
“Tapi…apa?” aku mulai penasaran.
“Tapi .. bila sudah tiba masanya nanti, kau harus mengenalkan belahan jiwamu itu padaku.”
“Setuju! Kau juga..!
 “Benar. Mulai saat ini, sebaiknya kita jalani hidup kita masing-masing.”
“Lho, bukannya dari dulu juga seperti itu?”
Ha..ha..
Lambat laun, kereta mulai bergerak makin lama makin cepat hingga bayangannya hilang ditelan kabut. Aku hanya tersenyum simpul. Kau memang tak pernah berubah, selalu tersenyum ceria,  apapun suasana hatimu.
****

Kabar tentang kepergianmu, mulai merebak di rumah singgah kita. Dengan beragam reaksi penghuninya. Ada yang heran dengan kepergianmu yang tiba-tiba, ada yang tak peduli sedikit pun, dan ada pula yang bersyukur ketika kau menghilang.
Aneh! Aku makin tak mengerti, kenapa masih ada orang yang tak bersimpati pada orang sepertimu. Aku kembali teringat obrolan kita, dulu. Ketika kita membahas tentang rasa suka dan benci. Obrolan yang cukup alot hingga membuat kita lupa waktu.
 “Apa yang akan kau lakukan bila tahu ada orang yang membencimu?” tanyaku ingin tahu.
“Ah, biarkan saja! Orang sesempurna Rasulullah pun, masih banyak yang membenci, apalagi orang sepertiku.  Asal jangan kita sendiri yang membenci orang lain.” tanggapmu santai.
Apa yang kau ucapkan, memang benar adanya.  Akan terus kuingat ucapanmu sampai kapan pun. Apalagi ketika rasa benci mulai bersarang dalam hatiku.
Tak terasa, sudah dua Ramadhan kau mengembara di kota hujan. Selama itu pula, tak secuil kabar tentang dirimu yang aku dapatkan. Entahlah, sesibuk apa aktifitasmu disana. Hingga tak punya waktu untuk menghubungiku lagi.
Kini, ponselku selalu sepi. Tak ada lagi miss call, pesan singkat apalagi telepon yang biasa membuatku cemberut tiba-tiba atau tersenyum sekalipun. Semuanya terasa datar, seperti jalur rel kereta yang kau tinggalkan.   
****

Jalanan masih lengang selepas hujan lebat tadi siang. Titik hujan masih menetes, diantara pagar, ranting dan dedaunan. Aku sengaja duduk sendiri di pelataran rumah singgah  sambil menikmati hangatnya secangkir coklat yang masih mengepul. 
Kulirik kembali ponsel yang masih tergeletak di atas meja, masih saja tetap tak bersuara. Hawa dingin makin menyelusup, aku menggosok-gosokkan kedua telapak tangan agar terasa lebih hangat.
Hening. Tak ada yang dapat kudengar selain rintik air yang tumpah dari langit. Pandanganku kembali menerawang, namun hanyalah deraian gerimis yang aku kenali. Irama hujan selalu mengingatkan aku pada dirimu.
Dinginnya udara, membawa anganku melayang pada kejadian masa silam, ribuan detik jelang kau pergi. Aku tak pernah menyangka kalau saat itulah, miss call terakhir darimu.
Hanya dalam hitungan detik pula, kulihat sebuah bayangan seseorang muncul dari kejauhan, dengan sebuah senyuman terkembang di bibirnya bersama sebatang coklat ditangannya. Perlahan-lahan, bayangan itu semakin mendekat, kemudian menghilang dihadapanku. Ah, ternyata hanya ilusi.
****

Bandung, 26 Januari 2009
* Hanya untuk mengenang petualangan seru di kota hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan. "Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mu...