Sore
itu di pelataran rumah singgah kita, tak ada siapa pun disana. Hanya
menyisakan kita berdua dan sinar mentari yang hendak kembali ke
peraduan.
“Akhirnya aku dapat kerjaan…,” katamu sumrigah
“Syukurlah, dimana?”
Kamu diam sejenak, “Mmm, kapan kau kembali ke kota hujan?” tanyamu lagi mencoba mengalihkan perhatian.
Aku menggeleng, “Proyekan di sana sudah usai. Lagipula, atasanku mutasi ke kota lain.”
“Ooh, begitu ya!” balasmu sedih.
“Memang kenapa? tak biasanya kau tertarik membicarakan hal seperti ini?”
“Aku…aku… mendapat pekerjaan disana,” ucapmu terbata.
“Apa…? Lalu..lalu aku bagaimana? Apa kau tega meninggalkanku seorang diri disini?” protesku lagi.
“Yaa..sudah kuduga,” katamu lirih.
Bila
kau sudah dapat memperkirakan hal tersebut, tapi tidak denganku. Aku
tak pernah menduga akan kehilanganmu secepat ini. Bukankah selama ini,
kita sama-sama saling mengingatkan dan saling menguatkan. Dan bila kau
sudah tak ada disini lagi, itu berarti aku harus menghadapi semua ini…
sendirian.
Andai
kau tahu, tak mudah bagiku untuk mencari penggantimu. Orang bilang,
seribu musuh akan mudah kau dapatkan, sedangkan satu sahabat, tentu akan
sulit kau pertahankan. Tahukah kau, menaruh sebuah kepercayaan pada
seseorang tidaklah mudah.
Aku
hanya bisa diam, menunduk. Tanpa perlu kata, tentu kau sudah bisa
menebak apa yang kupikirankan. Sejak dulu, aku memang tak pernah bisa
menyembunyikan apapun di depanmu.
“Tapi,
kapan lagi aku mendapatkan peluang sempurna seperti ini. Jadi
pendidik…seperti yang aku idamkan seperti dulu. Kau tau kan?” tandasmu
lagi
“Tentu.
Tentu aku tahu betul, apa yang menjadi idamanmu sejak dulu.
Bagaimanapun aku akan selalu mendukungmu.” ucapku berusaha tersenyum.
Matamu ikut berkaca-kaca, berusaha tersenyum bangga.
“Tenang
saja, aku tak pergi jauh. Kalau rindu, kita masih bisa saling menelepon
atau berkirim pesan. Lagipula kota hujan hanya berselang beberapa jam
dari sini. Bukankah ini lebih baik, daripada aku harus pergi ke ujung
timur pulau ini?”
Aku menggangguk lemah.
“Lalu, kapan kau pergi?”
“Entahlah tapi awal bulan depan aku harus sudah berada disana.”
“Cepat sekali..”
“Ya
begitulah. Aku masih mencintai tempat ini, aku masih ingin punya waktu
untuk bersama-sama kalian selama mungkin. Tapi…,” kau tak meneruskan
perkataanmu.
****
Kupaksa
mata ini terbuka, saat terdengar suara adzan awal dari kejauhan.
Sebenarnya, bukan itu yang menjadi penyebabnya tapi karena ponsel yang
berada didekatku berdering tiba-tiba.
“Haa.. kau lagi!! Gak ada kerjaan amat sih!” umpatku kesal.
Untung
saja, suasana yang tenang dan dingin membuatku merasa sedikit lebih
baik. Andai kau tahu, inilah moment yang paling nyaman dalam hidup kita.
Ketika Allah mengabulkan do’a-doa kita semua yang kemudian diaminkan
oleh para malaikat.
Sayang,
hanya sedikit saja orang yang mau menyadari, termasuk diri ini. Kita
lebih memilih melanjutkan mimpi indah, tanpa merasa bersalah sedikit
pun.
Kali
ini, rasanya sulit bagiku untuk kembali memejamkan mata. Apalagi sampai
tertidur lelap. Aku memilih diam dibalik selimut hangat, tanpa
aktifitas berarti hingga waktu fajar tiba.
Namun,
selepas fajar, waktu terasa berjalan begitu tergesa. Rutinitas pagi,
cukup menyita perhatianku hingga tak sempat mengecek ponsel. Tanganku
segera meraih ponsel, untuk memastikan kalau tidak ada janji yang aku
lewatkan hari ini, atau mungkin ada pesan yang masuk, siapa tahu.
Ah ternyata benar! Kau mengirim sebuah pesan singkat lagi.
“…stasiun…05:45..”
Maksudnya,
apa? Butuh beberapa menit bagi otakku untuk mencerna pesan itu dengan
mudah. Ya Allah…! Bukankah itu waktu keberangkatanmu menuju kota hujan?
“Ampun, setengah jam lagi!!” pekikku sembari mendongak ke arah jam dinding, refleks.
Tanpa
berpikir panjang lagi, aku segera menyambar sebuah jaket parasit untuk
menghalau dinginnya udara pagi. Kemudian, bergegas menuju stasiun.
“Ah, semoga masih ada waktu!” desahku penuh harap.
****
Lengkingan peluit, terdengar begitu nyaring diantara hiruk pikuknya ratusan orang dengan berbagai keperluannya tersendiri.
Kutemukan
kau duduk sendirian bersama sebuah travel bag besar. Sedangkan, tas
rangsel yang lebih kecil tetap bersarang dibahumu. Senyummu terkembang
saat melihat aku datang tergesa.
“Sepagi ini?”
Kau mengangguk.
“Mana yang lain?”
Kau hanya menggeleng, “Sengaja, tak kuberitahu.”
“Apa?”
“Sudahlah. Aku tak ingin merepotkan kalian semua.”
“Tapi aku…”
“Duduklah, hanya tinggal empat menit lebih tujuh detik lagi.”
Aku menurut saja, duduk disebelahmu. Diam, membisu.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan mengambil sebatang coklat. Kucoba ulurkan ke hadapanmu. Trik
seperti ini, biasanya selalu berhasil mencairkan keadaan. Tak sepotong
coklat pun yang bisa selamat, bila sudah mampir dihadapanmu.
Sayang,
kali ini tak berhasil. Kau tetap diam. Baru kali ini, aku melihatmu
sedikit berbeda, tampak lebih serius. Aku seperti tak mengenalmu saja.
“Jangan berikan apapun untukku,”
“Hanya untuk sarapan di perjalanan?” aku setengah memaksa.
Kamu tetap menggeleng sambil berusaha tersenyum.
“Tahukah kau, betapa beratnya bagiku untuk pergi dari tempat ini. Bahkan
sebutir nasi pun bisa memberatkan aku untuk pergi. Jadi, jangan bekali
aku dengan apapun hingga aku bisa pergi tanpa beban.” tegasmu.
“Baiklah.” Aku mengalah.
Kau segera bangkit, ketika mendengar aba-aba bahwa kereta yang akan kau tumpangi akan segera berangkat.
“Kau tak akan menungguku, kan?” tanyamu mencoba menggoda.
“Yaa… enggaklah! Ngapain, harus setia sama orang aneh seperti kamu.”
“Lha, bukannya kamu sendiri juga aneh?”
“Iya kali ya! Baru nyadar, he…he…”
Empat
menit lebih tujuh detik terasa melaju lebih cepat dari yang seharusnya.
Hanya dalam hitungan detik, kepalamu sudah melongok diantara puluhan
jendela yang berderet. Tanganmu melambai-lambai mengisyaratkan, agar aku
segera mendekat.
“Ngapain lagi?”
“Ada yang lupa!”
“Apa? Pasti, lupa ngasih kenang-kenangan buatku ya!” celotehku.
“Bukan itu, tapi…
“Tapi…apa?” aku mulai penasaran.
“Tapi .. bila sudah tiba masanya nanti, kau harus mengenalkan belahan jiwamu itu padaku.”
“Setuju! Kau juga..!
“Benar. Mulai saat ini, sebaiknya kita jalani hidup kita masing-masing.”
“Lho, bukannya dari dulu juga seperti itu?”
Ha..ha..
Lambat
laun, kereta mulai bergerak makin lama makin cepat hingga bayangannya
hilang ditelan kabut. Aku hanya tersenyum simpul. Kau memang tak pernah
berubah, selalu tersenyum ceria, apapun suasana hatimu.
****
Kabar
tentang kepergianmu, mulai merebak di rumah singgah kita. Dengan
beragam reaksi penghuninya. Ada yang heran dengan kepergianmu yang
tiba-tiba, ada yang tak peduli sedikit pun, dan ada pula yang bersyukur
ketika kau menghilang.
Aneh!
Aku makin tak mengerti, kenapa masih ada orang yang tak bersimpati pada
orang sepertimu. Aku kembali teringat obrolan kita, dulu. Ketika kita
membahas tentang rasa suka dan benci. Obrolan yang cukup alot hingga
membuat kita lupa waktu.
“Apa yang akan kau lakukan bila tahu ada orang yang membencimu?” tanyaku ingin tahu.
“Ah, biarkan saja! Orang sesempurna Rasulullah pun, masih banyak yang membenci, apalagi orang sepertiku. Asal jangan kita sendiri yang membenci orang lain.” tanggapmu santai.
Apa yang kau ucapkan, memang benar adanya. Akan terus kuingat ucapanmu sampai kapan pun. Apalagi ketika rasa benci mulai bersarang dalam hatiku.
Tak
terasa, sudah dua Ramadhan kau mengembara di kota hujan. Selama itu
pula, tak secuil kabar tentang dirimu yang aku dapatkan. Entahlah,
sesibuk apa aktifitasmu disana. Hingga tak punya waktu untuk
menghubungiku lagi.
Kini, ponselku selalu sepi. Tak ada lagi miss call,
pesan singkat apalagi telepon yang biasa membuatku cemberut tiba-tiba
atau tersenyum sekalipun. Semuanya terasa datar, seperti jalur rel
kereta yang kau tinggalkan.
****
Jalanan
masih lengang selepas hujan lebat tadi siang. Titik hujan masih
menetes, diantara pagar, ranting dan dedaunan. Aku sengaja duduk sendiri
di pelataran rumah singgah sambil menikmati hangatnya secangkir coklat yang masih mengepul.
Kulirik
kembali ponsel yang masih tergeletak di atas meja, masih saja tetap tak
bersuara. Hawa dingin makin menyelusup, aku menggosok-gosokkan kedua
telapak tangan agar terasa lebih hangat.
Hening. Tak ada yang dapat kudengar selain rintik air yang tumpah dari langit. Pandanganku kembali menerawang, namun hanyalah deraian gerimis yang aku kenali. Irama hujan selalu mengingatkan aku pada dirimu.
Dinginnya
udara, membawa anganku melayang pada kejadian masa silam, ribuan detik
jelang kau pergi. Aku tak pernah menyangka kalau saat itulah, miss call terakhir darimu.
Hanya
dalam hitungan detik pula, kulihat sebuah bayangan seseorang muncul
dari kejauhan, dengan sebuah senyuman terkembang di bibirnya bersama
sebatang coklat ditangannya. Perlahan-lahan, bayangan itu semakin
mendekat, kemudian menghilang dihadapanku. Ah, ternyata hanya ilusi.
****
Bandung, 26 Januari 2009
* Hanya untuk mengenang petualangan seru di kota hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar