Kamis, 15 Maret 2018

Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan.
"Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mudik kemarin. Bagus, kaan?" balas Nuy bangga.
"Ah, bukan bilang dari tadi kalau mau mie. Kan bisa bikin sekalian," timbrung Lina yang baru muncul dari dapur.
"Iih siapa lagi yang mau bikin mie, suka nyambung aja. Maksud aku tuh, Emih ibu aku dikampung, bukan emih yang bisa dimakan." ujar Nuy lagi jengkel.
"Ah da kamu mah aneh, masa sama orang tua bilangnya Emih. Orang lain mah manggilnya Ibu, Mamah, Mamih, Bunda." sanggah Lina lagi sembari mengaduk-aduk semangkuk mie dihadapannya
"Biarin, suka-suka aku dong mau manggil Ibuku apa. Syirik aja kalian," gerutu Nuy
"Terus itu ngapain?" tanya Dinny lagi
"Eh ini, aku iseng aja." balas Nuy sembari asyik mencoret-coret kertas
Barangsiapa yang menemukan dompet ini, harap hubungi nomor 0896XXXXXXXX
Terima kasih
"Laah, siapa yang mau nelpon kamu?" intip Dinny
"Iyaa.. Memangnya mau dompet barunya ilang?" timpal Lina lagi.
"Ihh amit-amit, jangan sampelaah...
*****

 "Astagfirullah..."  ucap Nuy panik.
"Kenapa teh Nuy," balas Aas heran
"Dompet As, dompet aku nggak ada," balas Nuy lagi, wajahnya mulai pucat
"Memangnya tadi disimpan dimana? Ko sampai nggak ada?" tanya Aas penasaran.
"Kan aku taro disaku ini, tapi ko sekarang jadi nggak ada!" ujar Nuy sembari meraba saku jaketnya yang sebelah kiri.
"Kunci... Kunci motor, ada nggak?" tanya Aas ikutan panik
"Kunci motor mah ada," jawab Nuy sembari meraba saku jaketnya yang sebelah kanan.
"Terus, ada uangnya nggak?"
"Ada sih, tapi paling cuma tinggal 7000 perak lagi."
"Syukur atuh, ikhlasin aja uang segitu mah. Kalo urusan dompet, kan bisa beli lagi yang baru!" hibur Aas
"Iih gak bisa gitu, lah! Biarpun nggak ada uangnya, tapi semua identitas aku ada di dompet itu. Mulai dari KTP, KTM, SIM, STNK," sanggah Nuy sedih.
"Ya sudah, kita lapor ke kantor polisi terdekat aja, yuk!" ajak Aas sembari melangkah meninggalkan pasar jumat pagi. Sementara Nuy hanya mengikutinya dari belakang dengan langkah gontai.
Hanya dalam waktu beberapa menit saja, keduanya sudah tiba di kantor polisi terdekat. Beruntung, mereka bertemu dengan  Bapak polisi yang baik hati dan ramah.
"Tenang ya, ambil napas dalam-dalam. Jangan panik begitu!" ujar Pak Polisi menenangkan.
"Habisnya saya kaget sekali, Pak! Gimana kalau sampai hilang semua?" ujar Nuy yang menahan tangis.
"Iya, Pak! Kalau membuat surat-surat yang baru itu waktunya kan lama, belum lagi biayanya nggak sedikit." tambah Aas.
"Bapak juga tahu. Segala sesuatu itu harus dihadapi dengan tenang dan santai, biar kita bisa berpikir jernih. Jadi Bapak mau merokok dulu sebentar, nggak apa-apa kan?" ujar Pak Polisi itu sembari menyalakan rokoknya dan melangkah keluar.
Sedangkan Nuy dan Aas hanya bisa mengangguk pasrah. Tidak ada pilihan lain yang terlintas di kepala mereka, selain mengunjungi kantor polisi ini. Sementara untuk berterus terang ke orang tua di kampung, rasanya terlalu beresiko.
"Jadi, apa yang hilang?" tanya Pak Polisi sembari mematikan rokoknya.
"Dompet," jawab Nuy dan Aas hampir berbarengan.
"Di mana?" tanya Pak Polisi lagi
"Di pasar jumat pagi." balas keduanya kompak.
"Trus, surat BPKBnya mana?"
"BPKB?"
Nuy dan Aas saling berpandangan
"Iya, punya surat BPKB, kan?"
"Euh itu, Pak. Surat BPKBnya ada dirumah."
"Ya sudah, ambil dulu sana ke rumah."
"Tapi rumah saya jauh, Pak." sanggah Nuy
"Ya gak papa atuh, bukannya kalian bawa motor?"
"Maksudnya, rumah dia ada di Majalengka, pak. Saya juga." timpal Aas.
"Oh, majalengka mah jauh atuh. Bapak kira, kalian masih orang Bandung."
"Terus ngapain ke Bandung? Belanja aja?"
"Nggak atuh, pak! Kita kuliah di Bandung."
"Ooh, mahasiswa."
"Bukan, kita mah mahasiswi, hehehe.."
Pak Polisi ikut terkekeh.
"Ya sudah, minta fotonya saja surat BPKBnya, terus kirim ke whatsapp. Nanti sore kalian kesini lagi!"
"Terus, kemana lagi, Pak?"
"Ya nggak kemana-mana. Paling nanti saya kasi surat keterangan kehilangan. Siapa tahu kalian kena tilang, sewaktu-waktu."
"Baik, Pak. Terima kasih banyak."
"Sama-sama."
*****

Tiga hari kemudian...
"Sudahlah ikhlaskan aja. Dompet yang sudah hilang mana mungkin bisa ketemu." hibur Lina.
"Anggap saja buang sial, siapa tahu kamu bakal dapat rezeki yang lebih besar dari itu." lanjutnya lagi.
"Iya sih, aku udah berusaha ikhlas tapi tetap aja masih sedih."
"Kamu mah ketulah sama kelakuan sendiri, sih! Pake corat coret, barang siapa yang menemukan dompet ini, blabla.. Jadi aja, dompetnya hilang beneran."
"Yeh, memangnya aku mau dompet hilang. Nggaklaah, semua orang pasti tidak ingin kehilangan, apapun itu."
"Teteh... Teh Nuy, ada telpon!" panggil Aas dari kamar bawah.
"Siapa?"
"Nggak tahu, nggak kenal!" balas Aas lagi.
"Tunggu sebentar!" ucap Nuy sembari bergegas turun dan menyambar ponsel miliknya dari tangan Aas.
"Halo, maaf siapa ya?"
"Ini dengan sodara Nuy yang rumahnya di Majalengka?" sahut suara seorang Ibu yang ada seberang sana."
"Iya, dengan saya sendiri."
"Syukurlah, saya menemukan dompetnya, Neng!"
"Alhamdulillah, dompetnya ketemu di mana, Bu?"
"Saya nemu dompet ini ditumpukan sampah yang ada di dekat rumah."
"Kalau boleh tahu, rumah Ibu ada di mana?"
"Rumah saya ada di daerah Ciwastra, Neng!"
"Ciwastra dimana, As?" bisik Nuy sembari menjauhkan ponselnya.
"Nggak tahu, tapi bisa kita cari tahu." balas Aas ikut berbisik
Nuy menggangguk mantap.
"Baiklah, saya segera menuju ke sana. Terima kasih banyak Bu, sudah menemukan dompet saya."
"Iya, Neng sama-sama. Saya kasihan aja, pasti sedang bingung mencari-cari dompetnya, kan?"
"Betul, Bu! Saya sudah bingung, harus mencari kemana lagi."
"Kalau begitu, saya menuju ke sana. Nanti kalau sudah dekat rumah Ibu, saya kabari lagi." lanjut Nuy lagi
"Baiklah, saya tunggu."
Selepas telpon ditutup, Aas dan Nuy saling berbalas senyum penuh kebahagiaan.
"Ngomong-ngomong, Ibu itu tahu darimana? Ko bisa menghubungi teh Nuy?"
"Ooh itu. Kan aku iseng nulis  di kertas barang siapa yang menemukan dompet ini, blabla.."
"Terus kertasnya diselipin di dompet," lanjut Aas sok tahu.
"Yup, tepat sekali. Nggak nyangka, tulisan isengku bisa membawa berkah ya, As!"
"Iyaa, tumben Kakak Sepupuku ini bisa berpikir cerdas, hahaha..."
"Ish... Hayuk, temenin aku ke Ciwastra."
"Siap, teh!"
*****

Grey House, 14 Maret 2018

Based on true story

Senin, 12 Maret 2018

Saat Chef Turun Gunung

Orang bilang, hari raya Imlek itu identik dengan hujan. Konon katanya, orang Tionghoa bakal bersedih kalau cuaca menjadi cerah saat Imlek tiba. Lho, kenapa bisa? Sangat berbanding terbalik dengan kebiasaan kita, bukan? Justru kita selalu berharap cuaca akan selalu cerah saat hari raya tiba. 
Akan tetapi, semua itu bukan tanpa alasan. Bagi orang Tionghoa, hujan itu melambangkan rezeki dan berkah. Semakin besar dan derasnya hujan yang turun, maka rezeki yang akan mereka dapatkan juga akan semakin melimpah.
Ooh, begitu ya? Pantas saja. 
Nah, seperti saat ini. Hari raya Imlek sudah berlalu beberapa minggu ke belakang. Namun hujan masih tetap turun di mana saja dan tanpa kenal waktu. Kadang siang, sore, malam bahkan terkadang pagi hari saat aktifitas baru akan segera dimulai.
Kondisi yang sulit diprediksi seperti ini, membuatku merasa semakin malas untuk melakukan aktifitas di luar. Aku akan berpikir seribu kali, apakah aktifitas tersebut sangat mendesak untuk dilakukan? Jika tidak, mungkin bisa ditunda sampai hari kembali cerah.
Hingga suatu sore, aku iseng mengecek whatsapp. Siapa tahu ada info penting dari kampus. Dari sekian banyak pesan yang masuk, aku lebih tertarik pada salah satu pesan yang dikirim Heru. Salah seorang teman baikku dikampus. Kenapa? Karena pesan yang dia kirim itu selalu penuh misteri. Tidak pernah lebih dari lima huruf, itupun sudah termasuk tanda kutip.  
"Teh"
"Maafkan, hapenya baru pulang dari Cimahi." balasku.
"Sudah diduga"
"Memangnya ada apa? 
"Kita kumpul di rumah Anwar, yuk! Kita bikin nasi liwet, sekalian silaturahmi." ajaknya.
"Kapan?"
"Hari minggu aja, jam 10. Bisa datang, kan?"
"Insya Allah. Mudah-mudahan ponakanku mau nganter, kan dia libur kerja kalau minggu."  
"Sip."
Namun, beberapa menit kemudian Heru mengirim pesan lagi. 
"Kata Anwar, kalau hari minggu ada kakaknya yang mau pindahan ke rumah itu."
"Terus, gimana?"
"Aku tanya sama yang lain dulu, ya!"
"Oke."
"Jam 5 aja, katanya."
"Siplah." 
*****

"Isna mau ikut ngeliwet di rumah Anwar?" tanyaku keesokan harinya.
"Boleh, tapi jadinya kapan?" 
"Kata Heru sih, jadi jam 5 sore. Tapi aku baru ngeh, nggak tahu rumah Anwar."
"Hayuk atuh, bareng Isna aja, yuk!"
"Asyik, ada tebengan, hehehe..."
"Eh tapi, jam 5 sekarang, kan?"
"Lho, bukan'a besok sore ya? Kalo sore ini saya belum kepasar
"Coba cross cek dulu, sama yang lain. Siapa tahu, memang Isna yang keliru. Soalnya setahu Isna jadinya hari ini. Berarti malam minggu kan?"
"Iya juga sih. Kalau begitu, aku tanya lagi Heru.
"Oke, nanti kabari Isna lagi, ya!"
"Sip."
Setelah konfirmasi dengan Heru, ternyata aku yang salah. Acara ngeliwet di rumah Anwar, memang hari ini, jam 5 sore. Kan ngejar moment malam minggu, begitu katanya. 
Untung saja, aku tanya Isna sebelumnya. Kalau tidak, pasti aku akan kembali melewatkan moment ngeliwet kali ini.
Aku kembali melirik jam dinding yang ada di kamar, masih tersisa beberapa jam sebelum acara ngeliwet itu berlangsung. Rasanya masih cukup waktu untuk bersiap-siap. Meski bagiku, acara ini terkesan buru-buru. 
Tapi, tak apalah. Lebih baik begitu, serba dadakan dan lancar. Daripada direncanakan dari jauh hari, tapi akhirnya malah batal. Betul kan? Toh hujan sudah turun seharian, masa nanti sore mau hujan lagi? 
*****

Matahari masih bersinar cerah hingga sore ini. Ingin rasanya aku segera pergi ke tempat tujuan, mumpung hari masih cerah. Siapa tahu, cuaca bakal berubah dan hujan akan turun kembali. Ah tapi, aku kan harus menunggu Isna datang menjemputku. Lagipula, dia yang tahu rumah Anwar. Jadi, bersabar saja.
Sayangnya, semua kekhawatiranku benar-benar terjadi. Cuaca yang cerah, tiba-tiba  berangsur menjadi mendung dan gelap hanya dalam hitungan menit. Hujan pun kembali turun dengan derasnya. 
"Tuuh kan benar, hujan lagi!" keluhku sembari menengok jendela.
"Isna sudah sampai mana, ya?" lanjutku lagi
Sudah hampir pukul 5 sore, tapi belum ada kabar sedikitpun dari Isna. Mungkin dia sedang dijalan, jadi tidak sempat menghubungi. Atau mungkin, dia sedang berteduh di suatu tempat. Apapun dugaanku, menunggu dalam hujan itu selalu membuatku mengantuk.
Untunglah, Isna tiba di depan rumahku tidak lama berselang. Hujan juga masih belum berhenti, meski hanya menyisakan  gerimis. Biar begitu, kami harus tetap mengenakan jas hujan untuk mengantisipasi. Meski masih dalam satu wilayah tapi jarak antara rumahku dan rumah Anwar, lumayan jauh. 
Setelah itu, kami berdua bergegas pergi menuju ke rumah Anwar, khawatir kemalaman di jalan. Benar saja, adzan magrib sudah berkumandang tidak lama berselang. Padahal perjalanan yang kami lakukan masih belum ada setengahnya.
Hingga akhirnya, kami berdua tiba di tempat tujuan selepas magrib. Ada Heru dan Hinhin yang sudah datang lebih dulu. Sedangkan Adi masih nyasar, katanya. Entah tersasar dimana. Sementara itu, masih belum ada kabar dari yang lain.
Meski pada awalnya semua sepakat dengan menu seadanya, tapi tuan rumah bersikukuh mau belanja dan masak.
"Kasihan kalian, kan? Masa datang jauh-jauh tidak disediakan apa-apa?" kilah Anwar selaku tuan rumah.
"Iya, tapi sudah sesore ini mau belanja kemana?" sangkalku 
"Pasar Cikutra masih ada," kilah Anwar santai. 
"Laah, pasar Cikutra! Itukan rumah aku. Bukannya sekalian aja tadi?"
"Memangnya ada uang buat belanja?" celutuk Hinhin dengan polosnya.
"Ish.." balasku jengkel.
Entah kenapa, aku tidak pernah bisa akur dengan temanku yang satu ini. Sementara itu, Heru malah tertawa kocak, melihat ulah kami berdua. 
"Gimana maunya tuan rumah. Kita sih, ngikut aja" lerainya
"Kita ke pasar sekarang, yuk!" ajak Anwar pada Isna.
Selepas mereka pergi, tinggallah kami berempat. Karena Adi sudah sampai juga, barusan. 
*****

Cukup lama juga Anwar dan Isna pergi, kami berempat hampir lumutan menunggu mereka pulang. Namun diantara kami berempat, tentu akulah orang yang paling merasa bosan dengan semua kondisi ini. Bagaimana tidak? Selain menjadi perempuan satu-satunya di tempat itu, aku juga bosan melihat boys band reunian. Soalnya rumpian mereka tidak pernah jauh dari Griya Supermarket tempat kerja mereka. Kan mana aku ngerti, coba!
Ah ya, aku dan teman-teman yang lain memang selalu menyebut mereka boys band, sejak awal perkuliahan. Alasannya, bukan karena semuanya pandai menyanyi. Namun karena mereka selalu bertiga kemana-mana. Mirip boys band, hahaha...
Sebenarnya Huda yang pertama-tama menyematkan istilah ini. Tapi lambat laun, teman-teman lain mengikutinya, termasuk aku. Bukan hanya itu, Huda juga sering memanggil Hinhin dengan sebutan "Mas Boy". Lagi-lagi, sebutan itu juga terus menyebar dan mengakar ke seluruh antero kampus hingga sekarang. Sampai-sampai ada salah seorang adik angkatan kami yang memanggil Hinhin dengan sebutan aa mas boy, wkwkwk..
Terlepas iseng, atau memang dia menyangka kalau nama Hinhin itu memang benar-benar mas boy, semua itu tetap mengundang tawa dan keceriaan. Benar-benar konyol, sih! 
*****

Daripada bengong sendiri nggak jelas, akhirnya pepaya aku jadikan sasaran. Aku kupas habis sampe biji-bijinya. Hingga akhirnya, Anwar dan Isna kembali ke rumah pukul 8 malam kurang sedikit.
"Duuh, jam segini baru pulang dari pasar. Belum masaknya, belum makannya.... Mau pulang jam berapa, coba?" keluhku.
"Santai saja, mumpung malam minggu. Kalau perlu kita menginap saja, toh besok libur." balas Adi.
"Ah kalian kan laki-laki, lebih fleksibel. Semua hal bisa disesuaikan tanpa mempertimbangkan banyak hal. Tapi kita kan perempuan, tidak bisa sesederhana itu," keluhku panjang lebar.
"Heeh," sangkal Isna yang setuju dengan keluhanku.
Kemudian, aku membantu Anwar dan Isna untuk mengeluarkan belanjaan. Ya ampun, mereka benar-benar belanja super mewah. Ada seekor ayam, tempe sepapan besar. Kalau menurut aku sih, itu lebih mirip buku tulis daripada tempe, wkwkwk... 
Lalu, ada kol sebulatan besar, katanya buat mengganti kangkung yang sudah habis dipasar. bumbu dapur dan bahan buat sambal. Ada juga dua bungkus besar kerupuk. Eh iya, masih ada asin juga tuh yang belum keluar dari kresek belanjaan. Waah, jadi masak beneran atuh kalo begini, mah.   
Sekarang kita berbagi tugas saja, biar cepat beres. Anwar dan Isna bertugas membersihkan dan membumbui ayam sebelum dibakar. Adi dan Heru yang membakar ayamnya, awas jangan sampai gosong, ya! Aku bertugas meracik semua bahan dan mengulek, ditambah Isna yang menggoreng dan Anwar yang membuat nasi liwetnya. Sisanya, bagian Hinhin yang cuci piring. Sayangnya, belum juga selesai percakapan ini, Hinhin sudah kabur duluan keluar melihat perapian yang disiapkan untuk membakar ayam.
"Ih Hinhin curang, nggak mau cuci piring!"
*****

Setelah semua orang bekerja keras selama hampir satu jam lebih, segala olahan sudah matang dan siap dihidangkan. Inilah moment yang paling kami tunggu sedari tadi, saatnya makan bersama.
Meski ada beberapa menu yang terasa sedikit kurang garam seperti nasi liwet dan sambal, yang justru keasinan seperti oseng kol. Tapi selebihnya masih tertolong oleh ayam bakar yang matang dengan pas. Tidak gosong dan tidak pula keasinan, hahaha...

"Siapa dulu chefnya!" kelakar Heru.

"Kalian sih, cuma membakar ayam saja susahnya minta ampun. Jadi terpaksa, chef harus turun gunung. Eh, turun tangan maksudnya." lanjutnya.
"Beuh sombong, seharusnya kita berterima kasih pada ayam yang mau bersahabat kali ini."
"Ah kalian, ada-ada saja."


Terlepas dari apapun menu yang terhidang, aku merasa cukup puas dan terhibur malam ini. Bukan lantaran menunya yang istimewa, namun moment kebersamaan inilah yang sangat berharga dan tidak akan bisa digantikan oleh apapun. 



Kalaupun suatu saat nanti, kami bisa berkumpul dan memasak bersama lagi. Toh momentnya tidak akan bisa sama seperti saat ini. Seperti yang selalu Heru bilang sejak awal, "Yang penting silaturahminya, kapan lagi!"

Yup setuju, semoga kekeluargaan ini tidak akan berakhir begitu saja, hanya karena semua orang sudah sibuk dengan urusan masing-masing dan menyandang gelar Sarjana Teknik. 
*****



                                                                                                   Cimenyan, 3 Maret 2018




Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan. "Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mu...