Minggu, 31 Maret 2013

Perjalanan


Menunggu. Menunggu adalah hal yang paling kubenci sejak dulu. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ada satu bus yang bisa membawaku menuju ke tempat tujuan. Aku berusaha untuk bersabar, biarpun kesal tak bisa dibuang.
Entah berapa lama lagi, aku harus duduk di halte. Sudah puluhan orang datang dan pergi dari tempat ini. Sementara aku? masih belum beranjak ke mana-mana, sedari tadi.
Hhh, sebenarnya aku ingin segera meninggalkan halte ini. Sayangnya, aku tak punya petunjuk lain. Selain taksi, jenis angkutan angkutan apa lagi yang bisa membawaku pergi ke tempat tujuan.
Padahal, dengan uang yang kumiliki saat ini, mana mungkin aku sanggup membayar ongkos taksi. Mau tak mau, aku harus tetap menunggu hingga bus itu datang. Entah untuk berapa lama lagi.
Seorang ibu paruh baya pemilik kios rokok di sebelah halte, hanya melirikku sesekali. Mungkin dia heran, kenapa aku masih betah berada di halte ini. Ingin rasanya kusapa dia, meski sekedar basa-basi melepas bosan.
Tapi dengan sorot matanya yang tajam serta tatapan dingin darinya, membuatku harus berpikir ulang. Sebaiknya, kuurungkan saja niatku barusan. Lagipula, ponselku kembali bergetar. Sepertinya, ada pesan yang masuk.
“Teh, dah nyampe mana? Ntar kalo dah deket sms saya ya!”
Aku menghela nafas. Lagi-lagi, sms dari dia. Seorang sahabat, yang tempatnya akan aku kunjungi nanti. Aku segera menekan tombol balas yang ada di pojok kanan layar ponsel.
“Busnya, masih belum datang juga!” jawabku sembari membubuhkan ekspresi kecewa diujung sms.
Kini, aku kembali terduduk di bangku halte dengan perasaan gelisah. Rasa kesal sudah mulai memenuhi kepalaku. Bayangkan saja, dari pertama kali aku datang ke halte ini hingga sekarang, sudah tiga kali pesan yang sama dan dikirim oleh orang yang sama pula.
Mungkin sahabatku itu sudah mulai bosan menunggu. Sedangkan  aku, masih belum beranjak kemana-mana. Aku masih tetap berada di tempat sama. Ingin rasanya aku mendatangi pemilik armada bus ini. Lalu kumarahi mereka sepuas hati.
“Tolong ya! jangan seenaknya mengecewakan konsumen. Daripada begini, lebih baik gak usah jalan sekalian!”
Aku tersenyum puas, dengan imajinasiku sendiri.
Sepintas, aku mulai berpikir akan membatalkan janji untuk menemuinya. Lalu melangkah pulang dan tidur nyenyak di rumah. Tapi sungguh, aku merasa tak tega membuatnya kecewa.
Bukan kali ini saja, dia menanyakan rencanaku untuk mengunjungi tempatnya. Tak lain, hanya memastikan kedatanganku. Semua itu, membuatku merasa tak enak hati. Apakah bisa lain kali? Lalu lain kali itu kapan? Kesempatan itu takkan pernah bisa berulang.
Tapi… aku sudah bosan menunggu lama, sungguh. Biarlah kukirim pesan mengecewakan ini padanya, aku menyerah. Namun, di detik-detik akhir keputus asaan, bis yang kutunggu tampak muncul dari kejauhan. Aku mulai bimbang, antara meneruskan perjalanan dengan kembali pulang.
Jujur saja, aku sudah terlanjur kesal. Namun kalau kupikir lagi, bukan hanya aku saja yang kesal menunggu. Dia juga. Andai kubatalkan janji ini, apa aku tak kasihan dengannya? Pasti, dia juga sudah lama menungguku.
Kurasa, sebaiknya aku lanjutkan saja perjalanan ini. Meski cukup memakan waktu, tapi setidaknya penantian kami berdua selama beberapa jam terakhir, tidak berujung sia-sia.
Aku segera bangkit lalu bergegas naik sebelum bus itu kembali melaju. Jika tidak, aku tak pernah tahu sampai kapan aku harus menunggu bus berikutnya datang. Aku sengaja duduk di dekat pintu. Biar gampang turun, maksudku.
Sementara tangan kananku masih tetap menggenggam ponsel dengan layar balasan yang baru aku buka. Niatnya sih, untuk membatalkan kunjunganku. Tapi semua beralih menjadi kepuasan karena dapat memenuhi janji.
*                                     

Kali ini, bis yang kutumpangi sudah memasuki kawasan Pasteur, aku mulai terpukau melihat keadaan di sekeliling. Beberapa hotel serta pusat perbelanjaan tampak berdiri menjulang, menggapai langit.
Rasanya bagaikan mimpi bisa melihat langsung pemandangan seperti ini. Semua tampak begitu megah daripada tayangan di televisi. Dulu kukira, hanya akan bisa melihat pemandangan seperti itu, bila pergi ke ibukota.
Ternyata, dugaanku salah. Aku tak perlu pergi jauh-jauh, bila hanya ingin gedung tinggi. Sebab saat ini, gedung-gedung pencakar langit sudah banyak bertebaran di kota kelahiranku.
Meski demikian, semua tetap tampak baru bagiku. Kalau di kampungku, mana ada pemandangan seperti ini? Tak ada bangunan lain yang lebih tinggi, selain kubah mesjid dan loteng milik tetangga. Itu pun hanya loteng papan yang dibuat seadanya.
Arus kendaraan memang tampak sedikit lengang. Namun, bukan membuat pejalan kaki lebih leluasa menyebrang jalan. Justru mereka harus lebih hati-hati karena hampir semua kendaraan yang melintas, melaju dengan kencang.
Melihat suasana seperti itu, aku jadi teringat pada pesannya, tempo hari.
“Kalo sudah sampe, cari jembatan penyebrangan aja. Nyebrang di sini mah terlalu beresiko!”  katanya dengan logat sunda yang khas.
Maka, ketika melihat sebuah jembatan penyebrangan, aku segera turun dari bus. Kurasa, tak ada jembatan penyebrangan lain di kawasan tersebut. Lagipula, dia sudah berpesan akan menungguku di dekat jembatan.
Sejauh pengamatanku, tentunya jembatan ini jauh lebih kokoh. Bukan hanya itu, tingginya pun dua kali lebih tinggi daripada jembatan penyebrangan yang ada di kampung kami.
Kampung kami juga memiliki jembatan penyebrangan yang terbuat dari bahan seadanya, seperti kaleng ataupun seng. Tentu saja tidak tahan lama, serta bunyinya yang cukup mengganggu pendengaran bila diinjak.
Selain itu, seringkali banyak lubang baru yang bermunculan di setiap bagian jembatan. Dengan kondisinya yang memprihatinkan seperti itu, pantas saja kalau masyarakat lebih memilih menyebrang di bawah saja.
Mereka pikir, menyebrang di jembatan penyebrangan hanya akan menambah resiko saja. Selain ketakutan yang berlebihan, juga bisa menyebabkan kecelakaan jika pengguna tidak berhati-hati.
 Ada sedikit keraguan, saat kaki ini hendak melangkah melalui jembatan. Semenjak kecil, aku memang takut pada ketinggian. Apalagi dengan ketinggian yang seperti itu, membuat hatiku semakin ciut.
Aku menengadah, mengamati jembatan itu. Berusaha mengumpulkan segenap keberanian untuk bisa melaluinya tanpa ada masalah. Hatiku mulai merasa lega, saat tahu kalau jembatan tersebut sudah terbuat dari beton.
Meski demikian, kedua kakiku masih tetap terasa gemetaran saat melangkah di atas jembatan. Apalagi saat melihat kendaraan yang tampak berseliweran di bawah kakiku. Namun, aku terus melangkah perlahan-lahan  hingga akhirnya bisa sampai di ujung jembatan.
*                                

Dari atas jembatan, kulihat seseorang berdiri didekat jembatan. Orang itu mengenakan kerudung praktis dengan warna magenta yang telah pudar, kaos belang-belang yang kedodoran serta rok kepanjangan yang menyapu jalan.
Sebenarnya aku sudah melihat sosok tersebut, jauh sebelum aku menyebrang. Entah siapa orang yang ditunggunya. Sepertinya orang itu menunggu sesorang yang begitu special baginya.
Ternyata, hingga aku tiba disebrang jalan, sosok itu masih belum beranjak dari tempatnya berada.
“Akhirnya, terlaksana juga!” ucap suara yang sangat aku kenali.
Aku segera mengangkat wajah, dan menoleh ke arah suara itu berasal. Ternyata pemilik kerudung Magenta itu adalah orang yang akan aku tuju di tempat ini. Kami pun segera berpelukan melepas rindu.
“Cape? Rumahku, jauh ya!” sapanya sambil melepas senyum.
Aku menggeleng dan membalas senyumannya. Aku sungguh bahagia bisa bertemu dengannya, terlebih dapat memenuhi janji yang telah kuucapkan tempo hari.
Seandainya tadi aku tetap menuruti emosi, tidak akan mendapatkan apa-apa.  Emosi yang ada dalam diri hanya akan menguras energi. Dan mungkin aku takkan pernah bisa sampai di tempat ini, seperti sekarang.
“Yuk, ah! Kita langsung ke rumah saja!” ajaknya.
Aku mengangguk dan mengikutinya dari belakang. Hari ini, aku sungguh beruntung
                                      



In memorian                
Pasteur, 10 Agustus 2008

* 


(Kumcer Angin dan Bunga Rumput, nulisbuku.com - 2010)

Rabu, 27 Maret 2013

Lomba Surat_Dahlan



Berikut ini, salah satu contoh surat yang kubuat untuk lomba. Sayangnya masih belum mendarat mulus di depan meja dewan juri. Biarkanlah, kegagalan hari ini bukan berarti kegagalan di kemudian hari. Semoga masih ada kesempatan lain untukku ^_^

Kepada Yth.
Bapak Dahlan Iskan
Di tempat

"Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya." (Dahlan Iskan)

    Asalamualaikum Wr. Wb
Apa kabar Pak Dahlan? Semoga Bapak dalam keadaan baik dan tetap berada dalam naungan dan kasih sayang Allah Ta’ala. Perkenalkan nama saya syfa, lengkapnya Assyfa Nurhalimah.
Saya memang bukan siapa-siapa. Saya hanya orang miskin yang berusaha merangkai mimpi dalam kehidupan sederhana yang tengah saya jalani. Sungguh, menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila surat ini bisa sampai ke tangan Bapak.
Semenjak kecil, saya sudah terbiasa hidup dalam kemiskinan. Keterbatasan ekonomi, sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun seperti yang pernah Bapak bilang, kalau hidup bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.
Oleh karena itu, saya hanya bisa berdoa dan berusaha. Agar suatu saat nanti, semua impian ini bisa menjadi kenyataan. Saya tak peduli kalau orang lain bilang, inilah impian teraneh yang pernah ada.
Saya tak ingin kaya dan terkenal. Saya juga tidak tergoda untuk menjadi sukses dan berhasil. Saya hanya ingin melihat orang-orang yang ada disekeliling, bisa hidup tenang dan berkecukupan. Tidak kekurangan, apalagi sampai kelaparan. 
Kenapa? Karena saya tahu persis, seperti apa perihnya hidup miskin itu. Ketika seseorang datang dan mengulurkan bantuannya, sedikit saja. Rasa syukur yang ada tak akan bisa mewakili kebahagiaan yang membuncah di dada.
Tak dapat dipungkiri, kalau kemiskinan itu bisa membatasi gerak langkah seseorang. Meski demikian, saya tidak ingin menyerah dengan keadaan. Ingin rasanya mengisi kemiskinan ini dengan semangat serta kerja keras. Bukan dengan kesedihan serta putus asa.
Dengan segala kemampuan yang dimiliki, saya harus bisa selangkah lebih maju dari mereka. Pokoknya, saya bertekad untuk tak menjadi beban bagi siapapun. Saya percaya kalau kita berusaha dengan sungguh-sungguh, niscaya Allah akan mengabulkan do'a kita.
Saya berusaha mengusir kemiskinan dengan segala cara. Mulai dari berjualan hingga menjadi buruh pabrik. Sayang, semua itu tidak bertahan lama sebab saya termasuk orang yang cepat bosan. Untunglah perasaan bosan seperti ini, bisa sedikit teralihkan pada hobi lama saya.
Ya menulis. Bukankah kegiatan seperti ini bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja? Tanpa perlu modal ataupun keahlian tertentu Akhirnya saya putuskan untuk serius menekuni dunia tulis menulis ini.
Karena tak ada komputer di rumah, saya sengaja mengetik di rental. Itu pun kalau saya sedang memiliki uang lebih. Dengan segala suka dukanya, terkadang rental mati lampu, komputer rental nge-hang hingga terkena virus.
Ujung-ujungnya, naskah yang sudah capek-capek saya ketik berlembar-lembar hilang begitu saja. Ingin menangis rasanya saat itu. Tapi anehnya, saya tidak pernah kapok. Bahkan terus saja mengulangnya hingga naskah yang saya kerjakan itu bisa rampung.
Tak peduli harus menghabiskan waktu berapa lama untuk menyelesaikannya. Sesudah itu, saya juga masih harus sedikit bersabar untuk mengumpulkan sejumlah uang. Agar bisa membayar ongkos kirim naskah tersebut ke beberapa media, hanya dengan modal nekat.
Hingga satu waktu, tanpa sengaja saya mendengar sebuah acara di salah satu radio swasta. Di mana seorang penyiarnya sedang membacakan kisah yang dikirim oleh pendengar.
Dari pertama kali mendengar, saya langsung tahu kalau itu adalah naskah yang pernah saya kirim ke redaksi mereka. Sebagai penulisnya, tentu saya hafal betul seperti apa naskah yang pernah ditulis sendiri.
Saking senangnya, saya langsung memberitahukan kabar baik ini pada keluarga. Sebuah kesempatan langka. Kapan lagi, naskah lainnya bisa diakui media? Sayang, tak ada seorangpun yang mau mempercayainya.
Bahkan kedua kakak saya malah menertawakannya. Mereka anggap saya hanya bermimpi di siang bolong. Mereka bilang itu pasti kisah orang lain yang mungkin mirip. Saat itu, saya tak mampu menyangkalnya. Mungkin mereka benar.
Saya pun mencoba melupakan kejadian tersebut. Meski demikian, saya tetap berusaha mengirim naskah ke beberapa media, diam-diam. Hingga akhirnya semua kerja keras ini membuahkan hasil. Naskah esai pertama saya dimuat oleh salah satu majalah remaja yang kini sudah gulung tikar. Bahkan honor pertama itu pun, tak terbayarkan sama sekali.
Kecewa, memang. Tapi ada kepuasan tercipta sendiri di dalamnya. Untuk kedua kalinya saya kembali menyodorkan majalah tersebut dengan bangga. Tapi ternyata, respon keluarga masih tetap dingin.
Apalagi Ayah, dia hanya melengos pergi, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Plak! Rasanya seperti ditampar keras-keras. Ingin rasanya saya berhenti saat itu juga. Berhenti bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu, mencari pekerjaan lain yang mungkin lebih masuk akal menurut mereka.
Saya merenung. Apa impian ini, harus terhenti sampai di sini? Apa semua jerih payah yang pernah saya lakukan selama ini hanya menjadi hal yang sia-sia? Tidak. Saya tidak boleh menyerah begitu saja. Saya harus buktikan bahwa pilihan hidup ini tidaklah salah.
Semua kenangan itu kembali membayang dipelupuk mata. Mulai dari membohongi keluarga, menguras uang tabungan hingga tak bersisa. Bahkan rela berjalan kaki hingga sejauh 4 km, pulang pergi hanya untuk mencharge semangat menulis.
Sungguh, saya tak pernah menyesal menjalaninya. Sedapat mungkin, saya berusaha menutupi semua keadaan ini dihadapan teman-teman. Saya tak ingin mereka tahu, kalau kalau keadaan saya benar-benar memprihatinkan.
Hanya sekedar ongkos untuk pulang pun, saya tak punya. Bila sudah begitu, saya sengaja melambatkan diri agar tidak ketahuan. Jika tidak, saya akan mencari alasan agar tidak pulang bersama mereka.
Biarlah semua ini tetap menjadi rahasia. Baik dulu, kini ataupun nanti. Biarlah mereka tak pernah tahu, apa yang terjadi. Cukuplah hanya Allah yang menjadi saksi sekeras apapun perjuangan hidup saya selama ini.
Yang terpenting sekarang, semua kisah pahit yang pernah saya alami dulu. Kini berubah menjadi kisah indah yang tak pernah bosan-bosannya saya bagikan pada orang lain. Termasuk bapak atau mungkin orang lain yang tak sengaja membacanya.
Atas segala perhatian dan waktu luangnya. Saya ucapkan terima kasih.
    Wassalamu’alaikum Wr.Wb


Hormat saya


Assyfa Nurhalimah

Jumat, 15 Maret 2013

Ketulusan tak Bertepi


Judul               :  Bersahabat dengan Orang Tua
Penulis            :  Nurul Asmayani
Penerbit         :  PT. Elex Media Komputindo
   Quanta - Kompas Gramedia
Tahun Terbit :  2012
Tebal              :  156 halaman

Diantara sekian banyak buku-buku parenting yang beredar dalam masyarakat kita. Buku ini hadir dengan keunikannya tersendiri. Bagaimana tidak, ketika buku lain membahas tentang tata cara perawatan anak. Sementara buku ini, justru kebalikannya.
Lihat saja cover depannya! Warna teduh dengan tinta keemasan bertuliskan “Bersahabat dengan Orang Tua,” benar-benar menarik perhatianku. Sungguh, aku semakin penasaran dengan isinya.


Ketika mulai membuka lembar demi lembarnya, aku langsung asyik membaca semua uraiannya. Rasanya, tak seperti membaca buku non fiksi biasa. Segala hal yang berkaitan dengan Orang Tua dibahas cukup lengkap di sini. Termasuk berbagai riset serta fakta yang mendukung.
Meski demikian, aku tetap merasa nyaman saat membacanya dan merasa tak digurui oleh semua ulasannya. Justru beberapa info serta tips menarik lainnya, cukup mencerahkan.
Selain itu, buku ini juga menghadirkan beberapa kisah pengalaman yang cukup menguras emosi. Tak jarang, air mata ini meleleh begitu saja, saat membaca kisah-kisahnya. Aku jadi merenung. Kira-kira apa jadinya bila aku sendiri yang mengalaminya.
Ah, semoga masih ada kesempatan bagiku. Jangan sampai penyesalan itu datang juga menghampiriku. Aku tak ingin seperti mereka, menyesal seumur hidup.
Kadang kala, kepala ini ikut termangut-mangut saat uraiannya sama persis dengan apa yang kualami. Atau mungkin, aku harus beranjak mengambil stabilo untuk menandai beberapa poin penting yang harus kucermati.
Sebuah catatan penting yang harus aku ingat baik-baik. Setidaknya aku akan merasa lebih siap, manakala kondisi itu bakal terjadi sewaktu-waktu. Namun ada satu hal yang aku garis bawahi di sini.
Bahwa ketulusan Orang Tua pada anaknya tak akan pernah ada batasnya hingga kapanpun. Lalu, bagaimana dengan ketulusan kita anak-anaknya disaat mereka telah lanjut usia. Benar-benar tulus ataukah hanya terpaksa. Semua kembali pada diri kita sendiri.
Aku rasa, buku ini pantas untuk dijadikan panduan bagi siapa saja yang ingin bersahabat dengan Orang Tua. Apa itu Orang Tua kita sendiri, mertua, kakek, nenek ataupun tetangga lanjut usia yang masih berada disamping kita.
Nah, bagi yang belum sempat memiliki buku ini, aku sarankan untuk segera mengoleksinya. Dengan semua keunggulan serta manfaat yang terkandung di dalamnya, aku jamin tak akan menyesal.



  Wan long, Maret 2013

Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan. "Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mu...