Jumat, 30 November 2012

Cita-citaku Setinggi Tanah


REVIEW FILM

Malam itu, sepulang kelas Mandarin di Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) aku mendapat 
kabar dari sms center sahabat MKAA. Yang mengabarkan bahwa besok siang bakal ada nonton bareng di ruang Audiovisua MKAA. Mulai pukul 10.00-15.00. Gratis.
Hmm, tak boleh terlewat nih!

Katanya lagi, film yang akan diputar besok adalah film yang lolos AFI 2012. Waah!
Entah suatu kebetulan atau tidak, yang jelas aku baru saja membaca ulasannya di koran kompas, pagi ini.

Sebenarnya, ada lima film unggulan dari AFI yakni: "Mata Tertutup", "Soegija", "Cita-Citaku Setinggi Tanah", "Tanah Syurga Katanya" dan "Berandal-berandal Ciliwung."  Namun, hanya dua film saja yang akan diputar di MKAA yakni "Cita-citaku Setinggi Tanah” dan Berandal-berandal Ciliwung.” Tak apalah.

Sebenarnya bukan karena gratisnya, yang menarik perhatianku. Tapi karena salah satu film yang akan diputar yakni “Cita-citaku Setinggi Tanah” sudah masuk ke dalam list film yang ingin aku tonton. Sayang masih belum kesampaian. 

Maka esok paginya aku nekat pergi ke MKAA. Tanpa mengajak siapapun atau menghubungi siapapun. Lagipula siapa yang bisa aku ajak, di saat jam kerja seperti ini. Hanyalah, orang pengangguran dan freelance sepertiku yang bisa hadir pada jam-jam segitu.

Sayangnya, aku baru bisa pergi dari rumah sekitar pukul 10.00. Ah, semoga saja pemutarannya meleset dari jadwal. Jika tidak, aku sudah terlambat selama 30 menit. Untuk ukuran sebuah film, pasti rugi besar tertinggal durasi selama itu.

Begitu tiba di MKAA, baru beberapa orang saja yang sudah duduk di ruang Audiovisul. Lho yang lain, pada ke mana? Ketika registrasi, panitia menyebutkan kalau acara baru dimulai pukul 11.00 nanti. Berarti, aku masih punya waktu luang 30 menit. Fuih, syukurlah..

Akan tetapi, ada hal yang lebih melegakan lagi. Selain mendapat kesempatan nonton dua film gratis. Peserta nonton bareng juga mendapat konsumsi, plus membawa oleh-oleh PIN dari Apresiasi Film Indonesia (AFI).
Hhm, kapan lagi kesempatan langka seperti ini :p

Waktu 30 menit berlalu tanpa terasa, padahal kami hanya ngobrol-ngobrol ringan sambil menikmati konsumsi yang sudah disediakan. Seperti yang disarankan seorang bapak yang duduk disebelahku. Tahu aja, kalau saya sedang lapar, hehe…
Hingga akhirnya film arahan Eugene Panji ini mulai diputar ^ ^


Tak seperti film-film yang pernah aku tonton, dengan prolog berupa pendangan ataupun sebuah narasi pengantar. Tapi kali ini terasa beda. Sebab, Eugene Panji menghadirkan anak-anak dengan segala prilaku polosnya. Serta keinginannya setelah besar nanti. jawabannya tentu saja beragam.

Kemudian beralih pada pengenalkan para tokohnya. Ada Jono yang selalu menjadi ketua kelas dan ingin jadi tentara. Ada Sri yang bercita-cita ingin menjadi artis dan ingin selalu dipanggil Mey. Sementara Puji bercita-cita ingin bisa membahagiakan orang lain. Sayang, hobinya tidak terpuji sebab dia suka mengupil.

Terakhir Agus, sebagai tokoh utama. Ayahnya seorang pegawai di pabrik tahu, sedangkan ibunya pandai memasak. Meski hanya memasak tahu bacem, yang menjadi makanan favorit keluarga mereka. Hingga setiap harinya mulai dari pagi, siang ataupun sore mereka selalu makan tahu bacem.

Film ini berkisah tentang persahabatan antara Agus, Jono, Sri dan Puji. Satu waktu, mereka berempat mendapatkan tugas untuk membuat sebuah karangan tentang cita-citanya dari gurunya di sekolah.

Namun diantara mereka berempat, Aguslah yang paling terlihat bingung menuliskan cita-citanya. Kenapa? Karena cita-cita Agus, hanya ingin makan di restoran Padang. Yang dia tahu cita-citanya ini, hanya perlu diwujudkan bukan untuk dituliskan.

Keinginan Agus yang terbilang unik ini tentu saja menjadi bahan ejekan teman-temannya. Bahkan Puji sampai mengatakan kalau cita-cita Agus itu rendah tapi menyusahkan. Meski demikian, Agus tidak peduli. Yang penting baginya, mencari cara agar cita-citanya itu bisa terwujud.

Sebenarnya bukan hanya Agus saja yang berpikiran demikian, teman-temannya pun sama. Jono terus melatih kemampuannya untuk menjadi tentara. Bahkan, ketika Ibu Jono menyuruhnya untuk menangkap ayam, dia malah bermain perang-perangan. :D

Ada Sri yang terus diajari akting oleh Ibunya. Bahkan Ibunya sampai rela mengirimkan oleh-oleh khas Muntilan beserta surat pengantar pada salah satu kenalannya di Jakarta. Agar Sri anaknya, bisa diajak menjadi artis terkenal di sana.

Sementara Agus berpikir, dia harus punya uang banyak jika ingin makan di restoran Padang. Dengan sebegitu banyaknya piring yang disajikan, dia berpikir harus membayar semuanya. Padahal seperti yang kita tahu kalau makan di restoran Padang hanya membayar apa yang kita makan saja. 
Mulanya, Agus mencoba meminta uang pada orang tuanya. Tapi ayahnya malah bilang kalau sekolah jaman sekarang itu, apa-apa perlu duit. Sedangkan dulu, sekolah hanya perlu otak. Agus pun memutuskan untuk  mengumpulkan uang sendiri.


Berbagai upaya dia lakukan untuk mewujudkan keinginannya itu. Mulai dari menabung, hingga mencari keong di sawah dan menjualnya. Bahkan dia rela menjadi kuli antar tahu dan ayam untuk menambah tabungannya.

Setelah sekian lama, uang tabungan Agus sudah terkumpul cukup banyak.  Dia meminta bantuan Sri untuk menemaninya membeli manik-manik. Lalu membuat topi yang biasa dikenakan oleh para pelayan yang ada di restoran Padang.

Satu waktu, Ibu Agus memintanya untuk menimba air di sumur. Namun, Agus malah membawa plastik yang berisi uang tabungannya itu dan meletakkannya di pinggir sumur. Tersentuh sedikit saja, plastik tersebut sudah masuk ke dalam sumur.

Agus menangis, semua jerih payahnya selama ini sia-sia. Dia tak sanggup membayarkan bila harus memulainya dari awal. Untunglah keberuntungan masih berpihak padanya. Sebelum kembali ke kampungnya, nenek Agus memberinya uang jajan diam-diam.

Kini, Agus sudah punya uang yang cukup untuk mewujudkan keinginannya. Apa dia segera pergi ke restoran Padang? Ternyata tidak. Agus baru sadar, kalau masih ada hal yang lebih penting daripada mewujudkan keinginannya ini. Apa gunanya cita-cita bisa terwujud, bila dirinya tetap sendirian. Bukankah keluarga dan sahabat jauh lebih penting dari segalanya?

Di akhir kisah, Agus pun dapat membacakan karangannya dengan lancar dihadapan teman-temannya. Namun yang lebih mengejutkan lagi, karena cita-cita Agus malah berubah menjadi seorang penyanyi. Lho?

Meski endingnya bisa dibilang nggak nyambung. Tapi jujur saja, aku suka dengan ending seperti ini. Mengejutkan penonton :D

Kalau tadi di awal film, Eugene Panji menghadirkan anak-anak sebagai pembuka. Maka di akhir film, Eugene Panji menghadirkan dari para ibu hamil beserta ibu-ibu yang memiliki balita mengenai harapan mereka pada anak-anaknya di masa mendatang.

Terakhir, saya suka sekali dengan film ini. Alasannya? Meski idenya terbilang sederhana, tapi penuh dengan pembelajaran. Bahwa, untuk mendapatkan sesuatu itu perlu kerja keras dan usaha yang tidak pantang menyerah. ;)


Bandung, 26 Nopember 2012

Behind Kumcer “Nice Bread"


Sejak kecil, aku tak ingin menjadi guru. Karena bagiku, profesi seorang guru itu tak sesederhana dari yang kita bayangkan. Hanya mengandalkan ijazah saja, tentu tak cukup. Dia harus sabar, pandai mencairkan susana dan juga tegas.
Bukan orang yang pendiam, pemarah dan tak sabaran sepertiku. Lalu bagaimana bisa, aku bisa akrab dengan anak didikku nanti? Maka ketika ayah memintaku untuk kuliah di jurusan yang sama, aku sengaja menolaknya dan lebih memilih untuk meniti karier sendiri.
Namun, kita tak pernah tahu garis hidup yang harus kita lalui. Hingga satu waktu, aku harus menjalani profesi ini, tanpa sengaja. Berbagi ilmu yang aku miliki, pada anak-anak yang memiliki minat yang sama denganku.
Meski hanya satu jam, seminggu sekali pula. Tetap saja mereka menyebutku “Ibu Guru”. Jujur saja, aku lebih senang disebut kakak daripada “Ibu Guru”
*****

Sungguh tidak mudah menyuruh seseorang untuk bertindak sesuai dengan keinginan kita. Jangankan pada anak-anak, menyuruh orang dewasa pun tidak gampang. Belajar dari pengalaman selama ini, mereka juga bisa menurut kalau kita mampu memahami dunianya.
Jangan salah. Terkadang, selera menulis anak-anak dan orang dewasa itu tak jauh berbeda. Mereka akan menuliskan segala hal yang terbayang dalam pikirannya. Termasuk beberapa hal yang biasa terjadi dalam keseharian.
Awal semester kemarin, aku sempat berdialog dengan salah seorang pengelola sekolah. Saat itu, kami membahas tentang permintaan sekolah untuk membukukan karya anak-anak binaanku di Klub Penulis Cilik (KPC)
KPC merupakan satu dari sekian banyak kegiatan extrakurikuler yang telah disediakan sekolah. Sesuai dengan namanya, KPC tentu menampung minat dan bakat anak-anak dalam dunia tulis menulis.
Aku merenung. Bukannya aku pesimistis akan kemampuan anak didikku. Tapi sungguh, hingga sejauh ini aku belum terlalu memahami karakter tulisan mereka. Sementara itu, waktu yang kami miliki juga sangat terbatas. Apa kami sanggup memenuhi target yang telah ditentukan?
Meski demikian, aku tetap sampaikan juga gagasan ini pada anak-anak didikku. Di luar dugaan, sambutan mereka luar biasa. Respon mereka juga cukup beragam. Ada yang bersemangat, ada pula yang biasa saja. Tak jarang yang ogah-ogahan bahkan ada pula tidak peduli. Biarkan saja.
Sementara menyiapkan konsep, aku membiarkan mereka untuk berimajinasi. Ada yang ingin membuat karya sendiri. Tapi, ada pula yang ingin membuatnya bersama-sama. Silakan, saja! Yang terpenting naskahnya harus beres. J 
Tapi ternyata, setelah beberapa minggu berjalan. Masih belum ada seorang pun yang berhasil menyelesaikan tulisannya. Apalagi sampai menyetorkan naskah tersebut padaku. Meski hati ini mulai gelisah, aku masih berusaha bersabar. Aku tak pernah bosan menagihnya dalam segala kesempatan, di setiap kali pertemuan. Hasilnya? Sama saja.
Duuh, bagaimana ini? bukankah waktu akan terus berjalan semakin sempit.
Aku mencoba berpikir, untuk mencari cara efektif.
Setelah sekian lama berpikir, aku putuskan untuk mencoba mendekati mereka dari hati ke hati. Sebisa mungkin, aku berusaha untuk menjadi teman dekat mereka, bukan sebagai seorang guru yang hanya memberi tugas pada muridnya.
Ternyata berhasil. Mulai meluncurlah berbagai alasan yang mereka kemukakan.  Mulai dari malas hingga naskah yang belum rampung. Benar saja. Ketika aku lihat sendiri, naskah itu memang masih belum apa-apa. Bahkan masih belum masuk ke konflik.
Meski demikian, aku tidak ingin marah. Justru merasa bersyukur karena mereka sudah mau mempercayaiku. Sehingga mau menceritakan alasan mereka dengan sukarela. Aku malah tersenyum, sadar akan kekeliruanku sendiri. 
Sepertinya aku kurang peka, selama ini. Ketika daya baca mereka hanya berkutat pada buku-buku sejenis KKPK atau PCPK. Tentu saja, itulah yang pertama kali terlintas dalam pikiran mereka.
Maka tidaklah mengherankan, bila gaya penulisan mereka lebih mengarah pada cerita sejenis. Jika mau begitu, tentu saja butuh waktu yang lama. Biarpun naskah karya anak-anak,  tetap saja membutuhkan space yang luas.
Hmm, aku rasa cara seperti ini tidak akan berhasil. Maka aku pun kembali memutar otak. Bagaimana caranya agar semua anak bisa berkontribusi dan target bisa dicapai? Syukurlah, keberuntungan masih mau berpihak padaku.
Hingga satu minggu pagi, aku melihat salah satu cerpen karya anak didikku dimuat di Koran lokal. Sebenarnya, idenya sederhana saja. Akan tetapi ketika dikemas dengan sedemikian rupa, berubah menjadi sebuah cerita menarik.
Aha, kenapa tidak terpikir sebelumnya? Kenapa aku tidak merancang sebuah buku kumpulan cerpen saja? Selain setiap orang bisa berkontribusi, proses pembuatannya juga tidak terlalu rumit. Ah semoga bisa tepat waktu.
Kemudian, aku tunjukkan cerpen itu pada mereka. Hasilnya sungguh mengangumkan. Banyak diantara mereka yang baru tahu kalau membuat cerita bisa sesederhana itu. Rupanya, ada juga salah seorang dari mereka yang senang membuat cerpen seperti itu.

Langkah Pertama, Tentukan Ide
Aku mencoba memancing ide dari mereka. Ternyata jawabannya beragam. Ada yang mau membuat cerita tentang makanan kesukaan, binatang kesayangan, tempat yang paling sering dikunjungi serta hal yang paling diinginkan.
Bahkan, semua anak berebut ingin ide miliknya yang akan dijadikan tema dalam buku kumpulan cerpen kali ini. Sedangkan aku sendiri, hanya bisa tersenyum kering. Jujur saja, aku masih bingung memutuskan pilihan.
Aku harus mampu bertindak adil. Kalau saja aku gegabah memilih salah satu tema. Sementara yang lain tidak setuju, aku khawatir mereka bakalan ngambek. Lalu tidak mau menulis. Hadeuh, gawat!
Akhirnya, aku mengambil jalan tengah. Aku sengaja meminta mereka untuk menuliskan lebih dulu cerita yang mereka buat. Tema yang paling banyak diambil, maka itulah tema yang akan dibukukan. Mereka pun mengangguk setuju.
Fuih, lega rasanya.
Sekarang tinggal menunggu, bakal seperti  apa cerita yang mereka buat. ^_^

Langkah Kedua, Mengumpulkan Bahan
Rasanya, aku sudah membuat tugas itu semudah mungkin. Tapi tetap saja, mereka masih kesulitan untuk menyelesaikannya. Wajar saja, sih! Jangankan anak-anak seperti mereka, kita juga pasti enggan jika diminta menulis sesuatu yang telah ditentukan.
Setelah sekian lama berjalan, ternyata hanya beberapa orang saja yang menyetorkan tulisannya. Hasilnya? Macam-macam.
Ada yang bisa menyelesaikan hingga berlembar-lembar, ada yang berhasil mengemasnya menjadi beberapa cerita. Tapi, ada juga yang hanya bisa membuat satu paragraf saja. Bahkan ada pula yang hanya berhasil membuat judulnya saja.
Aku kembali tertawa.

Langkah Ketiga, Meramu Menjadi Tulisan yang Utuh
Jujur saja, aku lebih suka menulis daripada harus mengedit. Akan tetapi, bila tak ada editor lain yang bisa aku tunjuk untuk memperbaiki naskah mereka, terpaksa kulakukan sendiri. Mau tak mau.
Mungkin, untuk cerita yang panjang bisa aku kurangi sebagian yang tidak pentingnya. Sedangkan bagi yang membuat beberapa cerita, bisa aku pilih salah satu. Lalu, bagaimana dengan yang belum utuh?
Nah itulah gunanya seorang editor. Dia bertugas untuk menambah atau mengurangi naskah yang ada. Sehingga sesuai dengan konsep yang diinginkan. Inilah saatnya aku mengerahkan segala kemampuan, untuk menyelesaikan semua naskah yang menggantung.  

Langkah keempat, menyapa Ilustrator
Ketika urusan naskah telah selesai, kini tinggal menambahkannya beberapa gambar. Berarti saat ini, giliran aku berurusan dengan Ilustrator. Biasanya aku sering bertemu dengan mereka tanpa sengaja.
Akan tetapi ketika dibutuhkan seperti saat ini, tak ada seorang Ilustratorpun yang bisa aku hubungi. Kalaupun ada, dia sendiri sedang dikejar-kejar deadline. Apalagi dengan dengan tenggat waktu yang hanya sekitar 2 minggu. Siapa yang sanggup melakukannya?
Sebenarnya, bisa saja meminta bantuan pada salah seorang teman. Kebetulan dia juga seorang illustrator. Mulanya, aku juga canggung meminta bantuannya untuk mengerjakan ilustrasi ini. Mendadak pula.
Aku khawatir, dia masih mengerjakan projekan yang lain. Di luar dugaan dia malah menyanggupinya. Syukurlah, kini aku bisa bernafas lega dan menunggu hasilnya.
Dia memang bukan seorang Ilustrator terkenal. Namanya juga selalu tersalip dengan nama Ilustrator lain. Namun hasil karyanya telah banyak menghiasi buku-buku anak belakangan ini.
Ah apalah arti sebuah nama. Yang penting karya dia ada dan nyata. Jadi jangan pedulikan apa komentar orang. Lagipula aku cukup percaya padanya, orangnya terbuka dan profesional. Ada honor gak ada honor, ilustrasi tetap dilanjutkan.
Hingga waktu yang telah disepakati, dia masih belum menyetor pekerjaannya. Bahkan dia sendiri berjanji, akan mendatangi rumahku kalau perlu. Mungkin aku juga salah, terlalu mengandalkannya. 
Meski demikian, aku masih tetap menunggunya. Sehari, dua hari hingga seminggu dia tak pernah muncul. Kiriman email darinya pun tak ada. Bahkan tak ada kabar sedikitpun darinya. Janji tinggal janji.
Begitulah manusia, sebaik apapun dirinya pasti memiliki kekurangan. Selama aku mengenal dirinya, hanya satu hal yang tidak aku sukai darinya. Yakni, paling sulit untuk menepati janji. Meski itu, janji yang telah dia buat sendiri.
Aku mulai panik. 
Bagaimana bisa menyelesaikan semua ini sesuai dengan target yang diminta sekolah. Kalau biasanya aku maklum dengan kebiasaan buruknya. Tapi kali ini, kita bekerja sama dengan pihak sekolah. Rasanya aku sudah tak bisa mentolelir kelakuannya.
Jujur saja, aku malu pada pihak sekolah. Karena selama ini, akulah yang selalu berhadapan langsung dengan mereka. Sementara itu, untuk mencari Illustrator pengganti rasanya tidak mungkin. Waktu yang kami miliki semakin sempit.
Aku sadar, terkadang segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi tidak sesuai dengan keinginan kita. Mungkin, projek kumpulan cerpen pertama ini harus terhenti sampai di sini. Aku sudah pasrah, daripada menyiksa diri.
Namun di saat yang bersamaan pula, temanku itu menyerahkan semua Ilustrasi hasil polesannya. Setitik harapan mulai tumbuh dalam hatiku. Sepertinya Allah memang tidak membolehkan aku untuk berputus asa dari rahmat-Nya. 
  
Langkah Kelima, Colek Designer dan Kepala Sekolah
Ketika naskah telah utuh dan Ilustrasinya telah siap. Kini tinggal menggabungkan antara keduanya. Berarti sekarang, aku harus mulai mencari seorang designer. Yang dekat-dekat saja, biar tak terlalu mahal.
Beruntung, di sisa waktu yang ada, dia mampu menyelesaikannya. Akhirnya aku bisa bernafas lega, semua bisa diselesaikan tepat waktu. Aku kembali mengumpulkan semua berkas, sebelum dikirim ke penerbit.
Benar saja. Ternyata aku lupa meminta surat pengantar pada pihak sekolah. Ketika menerbitkan buku dengan membawa nama sekolah, tentu saja harus dengan sepengetahuan kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi.
Ah, apa susahnya membuat surat pengantar dari sekolah. Paling hanya setengah atau satu halaman ketik. Sangatlah gampang bukan? Hanya sehari atau dua haripun pasti akan segera beres.
Ternyata dugaanku keliru. Pihak sekolah baru memberikan surat pengantar tersebut tepat satu bulan kemudian. Ingin rasanya aku marah-marah tapi tidak bisa. Bukankah kepala sekolahlah yang memiliki wewenang tertinggi.

Terakhir, Lirik-lirik Penerbit
Seharusnya aku sudah tenang, sekarang. Target membuat buku kumpulan cerpen perdana anak-anak didikku di KPC sudah tercapai. Biar begitu, aku masih tetap bingung. Dengan waktu yang mepet seperti itu, mau dicetak di mana?
Bukan hanya itu, pihak sekolah juga tak ada yang bisa dihubungi. Apalagi bisa mendukung dana percetakan, seperti dalam kesepakatan sebelumnya. Hingga akhirnya, aku konsultasikan semua ini pada m’Ali Muakhir. Siapa tahu, dia punya jalan tengah.
Beberapa hari kemudian, m’Ali menghubungiku. Katanya saat ini, mizan.com baru membuka pelayanan self publishing juga. Kita hanya perlu menyerahkan naskah utuh beserta Ilustrasinya saja.
Sementara desain dan layoutnya sendiri, mereka sediakan dengan cuma-cuma. Mungkin karena mereka sudah memiliki template sendiri. Namun yang lebih menggembirakan lagi adalah tak ada biaya sepeserpun yang kita keluarkan.
 Ketika sampel buku sudah keluar dari website mereka, kita hanya perlu memesan buku tersebut sebanyak-banyaknya dan siap diedarkan. Gampang sekali bukan? Nah, kalau sudah begini, semoga bakal menyusul karya-karya berikutnya... (Amin)


 Bandung, Juni 2012

Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan. "Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mu...