Sejak kecil, aku tak ingin
menjadi guru. Karena bagiku, profesi seorang guru itu tak sesederhana dari yang
kita bayangkan. Hanya mengandalkan ijazah saja, tentu tak cukup. Dia harus
sabar, pandai mencairkan susana dan juga tegas.
Bukan orang yang pendiam, pemarah
dan tak sabaran sepertiku. Lalu bagaimana bisa, aku bisa akrab dengan anak
didikku nanti? Maka ketika ayah memintaku untuk kuliah di jurusan yang sama,
aku sengaja menolaknya dan lebih memilih untuk meniti karier sendiri.
Namun, kita tak pernah tahu
garis hidup yang harus kita lalui. Hingga satu waktu, aku harus menjalani
profesi ini, tanpa sengaja. Berbagi ilmu yang aku miliki, pada anak-anak yang
memiliki minat yang sama denganku.
Meski hanya satu jam, seminggu
sekali pula. Tetap saja mereka menyebutku “Ibu Guru”. Jujur saja, aku lebih
senang disebut kakak daripada “Ibu Guru”
*****
Sungguh tidak mudah menyuruh seseorang untuk bertindak sesuai
dengan keinginan kita. Jangankan pada anak-anak, menyuruh orang dewasa pun
tidak gampang. Belajar dari pengalaman selama ini, mereka juga bisa menurut
kalau kita mampu memahami dunianya.
Jangan salah. Terkadang, selera menulis anak-anak dan orang dewasa
itu tak jauh berbeda. Mereka akan menuliskan segala hal yang terbayang dalam
pikirannya. Termasuk beberapa hal yang biasa terjadi dalam keseharian.
Awal semester kemarin, aku sempat berdialog dengan salah seorang pengelola
sekolah. Saat itu, kami membahas tentang permintaan sekolah untuk membukukan
karya anak-anak binaanku di Klub Penulis Cilik (KPC)
KPC merupakan satu dari sekian banyak kegiatan extrakurikuler yang
telah disediakan sekolah. Sesuai dengan namanya, KPC tentu menampung minat dan
bakat anak-anak dalam dunia tulis menulis.
Aku merenung. Bukannya aku pesimistis akan kemampuan anak didikku.
Tapi sungguh, hingga sejauh ini aku belum terlalu memahami karakter tulisan
mereka. Sementara itu, waktu yang kami miliki juga sangat terbatas. Apa kami
sanggup memenuhi target yang telah ditentukan?
Meski demikian, aku tetap sampaikan juga gagasan ini pada anak-anak
didikku. Di luar dugaan, sambutan mereka luar biasa. Respon mereka juga cukup
beragam. Ada yang bersemangat, ada pula yang biasa saja. Tak jarang yang
ogah-ogahan bahkan ada pula tidak peduli. Biarkan saja.
Sementara menyiapkan konsep, aku membiarkan mereka untuk
berimajinasi. Ada yang ingin membuat karya sendiri. Tapi, ada pula yang ingin
membuatnya bersama-sama. Silakan, saja! Yang terpenting naskahnya harus beres. J
Tapi ternyata, setelah beberapa minggu berjalan. Masih belum ada
seorang pun yang berhasil menyelesaikan tulisannya. Apalagi sampai menyetorkan
naskah tersebut padaku. Meski hati ini mulai gelisah, aku masih berusaha
bersabar. Aku tak pernah bosan menagihnya dalam segala kesempatan, di setiap
kali pertemuan. Hasilnya? Sama saja.
Duuh, bagaimana ini? bukankah
waktu akan terus berjalan semakin sempit.
Aku mencoba berpikir, untuk mencari cara efektif.
Setelah sekian lama berpikir, aku putuskan untuk mencoba mendekati
mereka dari hati ke hati. Sebisa mungkin, aku berusaha untuk menjadi teman
dekat mereka, bukan sebagai seorang guru yang hanya memberi tugas pada
muridnya.
Ternyata berhasil. Mulai meluncurlah berbagai alasan yang mereka
kemukakan. Mulai dari malas hingga
naskah yang belum rampung. Benar saja. Ketika aku lihat sendiri, naskah itu
memang masih belum apa-apa. Bahkan masih belum masuk ke konflik.
Meski demikian, aku tidak ingin marah. Justru merasa bersyukur
karena mereka sudah mau mempercayaiku. Sehingga mau menceritakan alasan mereka
dengan sukarela. Aku malah tersenyum, sadar akan kekeliruanku sendiri.
Sepertinya aku kurang peka, selama ini. Ketika daya baca mereka
hanya berkutat pada buku-buku sejenis KKPK atau PCPK. Tentu saja, itulah yang
pertama kali terlintas dalam pikiran mereka.
Maka tidaklah mengherankan, bila gaya penulisan mereka lebih
mengarah pada cerita sejenis. Jika mau begitu, tentu saja butuh waktu yang lama.
Biarpun naskah karya anak-anak, tetap
saja membutuhkan space yang luas.
Hmm, aku rasa cara seperti ini tidak akan berhasil. Maka aku pun kembali
memutar otak. Bagaimana caranya agar semua anak bisa berkontribusi dan target
bisa dicapai? Syukurlah, keberuntungan masih mau berpihak padaku.
Hingga satu minggu pagi, aku melihat salah satu cerpen karya anak
didikku dimuat di Koran lokal. Sebenarnya, idenya sederhana saja. Akan tetapi
ketika dikemas dengan sedemikian rupa, berubah menjadi sebuah cerita menarik.
Aha, kenapa tidak terpikir sebelumnya? Kenapa aku tidak merancang
sebuah buku kumpulan cerpen saja? Selain setiap orang bisa berkontribusi,
proses pembuatannya juga tidak terlalu rumit. Ah semoga bisa tepat waktu.
Kemudian, aku tunjukkan cerpen itu pada mereka. Hasilnya sungguh
mengangumkan. Banyak diantara mereka yang baru tahu kalau membuat cerita bisa
sesederhana itu. Rupanya, ada juga salah seorang dari mereka yang senang
membuat cerpen seperti itu.
Langkah Pertama, Tentukan Ide
Aku mencoba memancing ide dari mereka. Ternyata jawabannya
beragam. Ada yang mau membuat cerita tentang makanan kesukaan, binatang
kesayangan, tempat yang paling sering dikunjungi serta hal yang paling
diinginkan.
Bahkan, semua anak berebut ingin ide miliknya yang akan dijadikan
tema dalam buku kumpulan cerpen kali ini. Sedangkan aku sendiri, hanya bisa tersenyum
kering. Jujur saja, aku masih bingung memutuskan pilihan.
Aku harus mampu bertindak adil. Kalau saja aku gegabah memilih
salah satu tema. Sementara yang lain tidak setuju, aku khawatir mereka bakalan
ngambek. Lalu tidak mau menulis. Hadeuh,
gawat!
Akhirnya, aku mengambil jalan tengah. Aku sengaja meminta mereka untuk
menuliskan lebih dulu cerita yang mereka buat. Tema yang paling banyak diambil,
maka itulah tema yang akan dibukukan. Mereka pun mengangguk setuju.
Fuih, lega rasanya.
Sekarang tinggal menunggu, bakal seperti apa cerita yang mereka buat. ^_^
Langkah Kedua, Mengumpulkan Bahan
Rasanya, aku sudah membuat tugas itu semudah mungkin. Tapi tetap
saja, mereka masih kesulitan untuk menyelesaikannya. Wajar saja, sih! Jangankan
anak-anak seperti mereka, kita juga pasti enggan jika diminta menulis sesuatu
yang telah ditentukan.
Setelah sekian lama berjalan, ternyata hanya beberapa orang saja
yang menyetorkan tulisannya. Hasilnya? Macam-macam.
Ada yang bisa menyelesaikan hingga berlembar-lembar, ada yang
berhasil mengemasnya menjadi beberapa cerita. Tapi, ada juga yang hanya bisa
membuat satu paragraf saja. Bahkan ada pula yang hanya berhasil membuat
judulnya saja.
Aku kembali tertawa.
Langkah Ketiga, Meramu Menjadi Tulisan
yang Utuh
Jujur saja, aku lebih suka menulis daripada harus mengedit. Akan
tetapi, bila tak ada editor lain yang bisa aku tunjuk untuk memperbaiki naskah
mereka, terpaksa kulakukan sendiri. Mau tak mau.
Mungkin, untuk cerita yang panjang bisa aku kurangi sebagian yang
tidak pentingnya. Sedangkan bagi yang membuat beberapa cerita, bisa aku pilih
salah satu. Lalu, bagaimana dengan yang belum utuh?
Nah itulah gunanya seorang editor. Dia bertugas untuk menambah
atau mengurangi naskah yang ada. Sehingga sesuai dengan konsep yang diinginkan.
Inilah saatnya aku mengerahkan segala kemampuan, untuk menyelesaikan semua
naskah yang menggantung.
Langkah keempat, menyapa
Ilustrator
Ketika urusan naskah telah selesai, kini tinggal menambahkannya
beberapa gambar. Berarti saat ini, giliran aku berurusan dengan Ilustrator.
Biasanya aku sering bertemu dengan mereka tanpa sengaja.
Akan tetapi ketika dibutuhkan seperti saat ini, tak ada seorang
Ilustratorpun yang bisa aku hubungi. Kalaupun ada, dia sendiri sedang
dikejar-kejar deadline. Apalagi dengan dengan tenggat waktu yang hanya sekitar
2 minggu. Siapa yang sanggup melakukannya?
Sebenarnya, bisa saja meminta bantuan pada salah seorang teman.
Kebetulan dia juga seorang illustrator. Mulanya, aku juga canggung meminta
bantuannya untuk mengerjakan ilustrasi ini. Mendadak pula.
Aku khawatir, dia masih mengerjakan projekan yang lain. Di luar
dugaan dia malah menyanggupinya. Syukurlah, kini aku bisa bernafas lega dan
menunggu hasilnya.
Dia memang bukan seorang Ilustrator terkenal. Namanya juga selalu
tersalip dengan nama Ilustrator lain. Namun hasil karyanya telah banyak
menghiasi buku-buku anak belakangan ini.
Ah apalah arti sebuah nama. Yang penting karya dia ada dan nyata.
Jadi jangan pedulikan apa komentar orang. Lagipula aku cukup percaya padanya,
orangnya terbuka dan profesional. Ada honor gak ada honor, ilustrasi tetap
dilanjutkan.
Hingga waktu yang telah disepakati, dia masih belum menyetor
pekerjaannya. Bahkan dia sendiri berjanji, akan mendatangi rumahku kalau perlu.
Mungkin aku juga salah, terlalu mengandalkannya.
Meski demikian, aku masih tetap menunggunya. Sehari, dua hari
hingga seminggu dia tak pernah muncul. Kiriman email darinya pun tak ada. Bahkan
tak ada kabar sedikitpun darinya. Janji tinggal janji.
Begitulah manusia, sebaik apapun dirinya pasti memiliki
kekurangan. Selama aku mengenal dirinya, hanya satu hal yang tidak aku sukai
darinya. Yakni, paling sulit untuk menepati janji. Meski itu, janji yang telah
dia buat sendiri.
Aku mulai panik.
Bagaimana bisa menyelesaikan semua ini sesuai
dengan target yang diminta sekolah. Kalau biasanya aku maklum dengan kebiasaan
buruknya. Tapi kali ini, kita bekerja sama dengan pihak sekolah. Rasanya aku
sudah tak bisa mentolelir kelakuannya.
Jujur saja, aku malu pada pihak sekolah. Karena selama ini, akulah
yang selalu berhadapan langsung dengan mereka. Sementara itu, untuk mencari Illustrator
pengganti rasanya tidak mungkin. Waktu yang kami miliki semakin sempit.
Aku sadar, terkadang segala sesuatu yang terjadi dimuka bumi tidak
sesuai dengan keinginan kita. Mungkin, projek kumpulan cerpen pertama ini harus
terhenti sampai di sini. Aku sudah pasrah, daripada menyiksa diri.
Namun di saat yang bersamaan pula, temanku itu menyerahkan semua
Ilustrasi hasil polesannya. Setitik harapan mulai tumbuh dalam hatiku.
Sepertinya Allah memang tidak membolehkan aku untuk berputus asa dari
rahmat-Nya.
Langkah Kelima, Colek Designer dan
Kepala Sekolah
Ketika naskah telah utuh dan Ilustrasinya telah siap. Kini tinggal
menggabungkan antara keduanya. Berarti sekarang, aku harus mulai mencari
seorang designer. Yang dekat-dekat saja, biar tak terlalu mahal.
Beruntung, di sisa waktu yang ada, dia mampu menyelesaikannya.
Akhirnya aku bisa bernafas lega, semua bisa diselesaikan tepat waktu. Aku
kembali mengumpulkan semua berkas, sebelum dikirim ke penerbit.
Benar saja. Ternyata aku lupa meminta surat pengantar pada pihak
sekolah. Ketika menerbitkan buku dengan membawa nama sekolah, tentu saja harus
dengan sepengetahuan kepala sekolah sebagai pimpinan tertinggi.
Ah, apa susahnya membuat surat pengantar dari sekolah. Paling
hanya setengah atau satu halaman ketik. Sangatlah gampang bukan? Hanya sehari
atau dua haripun pasti akan segera beres.
Ternyata dugaanku keliru. Pihak sekolah baru memberikan surat
pengantar tersebut tepat satu bulan kemudian. Ingin rasanya aku marah-marah
tapi tidak bisa. Bukankah kepala sekolahlah yang memiliki wewenang tertinggi.
Terakhir, Lirik-lirik Penerbit
Seharusnya aku sudah tenang, sekarang. Target membuat buku
kumpulan cerpen perdana anak-anak didikku di KPC sudah tercapai. Biar begitu,
aku masih tetap bingung. Dengan waktu yang mepet seperti itu, mau dicetak di
mana?
Bukan hanya itu, pihak sekolah juga tak ada yang bisa dihubungi.
Apalagi bisa mendukung dana percetakan, seperti dalam kesepakatan sebelumnya.
Hingga akhirnya, aku konsultasikan semua ini pada m’Ali Muakhir. Siapa tahu,
dia punya jalan tengah.
Beberapa hari kemudian, m’Ali menghubungiku. Katanya saat ini,
mizan.com baru membuka pelayanan self publishing juga. Kita hanya perlu
menyerahkan naskah utuh beserta Ilustrasinya saja.
Sementara desain dan layoutnya sendiri, mereka sediakan dengan
cuma-cuma. Mungkin karena mereka sudah memiliki template sendiri. Namun yang
lebih menggembirakan lagi adalah tak ada biaya sepeserpun yang kita keluarkan.
Ketika sampel buku sudah keluar dari website mereka, kita hanya
perlu memesan buku tersebut sebanyak-banyaknya dan siap diedarkan. Gampang
sekali bukan? Nah, kalau sudah begini, semoga bakal menyusul karya-karya
berikutnya... (Amin)
Bandung, Juni 2012
Bandung, Juni 2012
Wow...jadi Mizan punya POD ya sekarang? thanks sharingnya mbak...!
BalasHapus