Rabu, 27 Maret 2013

Lomba Surat_Dahlan



Berikut ini, salah satu contoh surat yang kubuat untuk lomba. Sayangnya masih belum mendarat mulus di depan meja dewan juri. Biarkanlah, kegagalan hari ini bukan berarti kegagalan di kemudian hari. Semoga masih ada kesempatan lain untukku ^_^

Kepada Yth.
Bapak Dahlan Iskan
Di tempat

"Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya." (Dahlan Iskan)

    Asalamualaikum Wr. Wb
Apa kabar Pak Dahlan? Semoga Bapak dalam keadaan baik dan tetap berada dalam naungan dan kasih sayang Allah Ta’ala. Perkenalkan nama saya syfa, lengkapnya Assyfa Nurhalimah.
Saya memang bukan siapa-siapa. Saya hanya orang miskin yang berusaha merangkai mimpi dalam kehidupan sederhana yang tengah saya jalani. Sungguh, menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila surat ini bisa sampai ke tangan Bapak.
Semenjak kecil, saya sudah terbiasa hidup dalam kemiskinan. Keterbatasan ekonomi, sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun seperti yang pernah Bapak bilang, kalau hidup bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.
Oleh karena itu, saya hanya bisa berdoa dan berusaha. Agar suatu saat nanti, semua impian ini bisa menjadi kenyataan. Saya tak peduli kalau orang lain bilang, inilah impian teraneh yang pernah ada.
Saya tak ingin kaya dan terkenal. Saya juga tidak tergoda untuk menjadi sukses dan berhasil. Saya hanya ingin melihat orang-orang yang ada disekeliling, bisa hidup tenang dan berkecukupan. Tidak kekurangan, apalagi sampai kelaparan. 
Kenapa? Karena saya tahu persis, seperti apa perihnya hidup miskin itu. Ketika seseorang datang dan mengulurkan bantuannya, sedikit saja. Rasa syukur yang ada tak akan bisa mewakili kebahagiaan yang membuncah di dada.
Tak dapat dipungkiri, kalau kemiskinan itu bisa membatasi gerak langkah seseorang. Meski demikian, saya tidak ingin menyerah dengan keadaan. Ingin rasanya mengisi kemiskinan ini dengan semangat serta kerja keras. Bukan dengan kesedihan serta putus asa.
Dengan segala kemampuan yang dimiliki, saya harus bisa selangkah lebih maju dari mereka. Pokoknya, saya bertekad untuk tak menjadi beban bagi siapapun. Saya percaya kalau kita berusaha dengan sungguh-sungguh, niscaya Allah akan mengabulkan do'a kita.
Saya berusaha mengusir kemiskinan dengan segala cara. Mulai dari berjualan hingga menjadi buruh pabrik. Sayang, semua itu tidak bertahan lama sebab saya termasuk orang yang cepat bosan. Untunglah perasaan bosan seperti ini, bisa sedikit teralihkan pada hobi lama saya.
Ya menulis. Bukankah kegiatan seperti ini bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja? Tanpa perlu modal ataupun keahlian tertentu Akhirnya saya putuskan untuk serius menekuni dunia tulis menulis ini.
Karena tak ada komputer di rumah, saya sengaja mengetik di rental. Itu pun kalau saya sedang memiliki uang lebih. Dengan segala suka dukanya, terkadang rental mati lampu, komputer rental nge-hang hingga terkena virus.
Ujung-ujungnya, naskah yang sudah capek-capek saya ketik berlembar-lembar hilang begitu saja. Ingin menangis rasanya saat itu. Tapi anehnya, saya tidak pernah kapok. Bahkan terus saja mengulangnya hingga naskah yang saya kerjakan itu bisa rampung.
Tak peduli harus menghabiskan waktu berapa lama untuk menyelesaikannya. Sesudah itu, saya juga masih harus sedikit bersabar untuk mengumpulkan sejumlah uang. Agar bisa membayar ongkos kirim naskah tersebut ke beberapa media, hanya dengan modal nekat.
Hingga satu waktu, tanpa sengaja saya mendengar sebuah acara di salah satu radio swasta. Di mana seorang penyiarnya sedang membacakan kisah yang dikirim oleh pendengar.
Dari pertama kali mendengar, saya langsung tahu kalau itu adalah naskah yang pernah saya kirim ke redaksi mereka. Sebagai penulisnya, tentu saya hafal betul seperti apa naskah yang pernah ditulis sendiri.
Saking senangnya, saya langsung memberitahukan kabar baik ini pada keluarga. Sebuah kesempatan langka. Kapan lagi, naskah lainnya bisa diakui media? Sayang, tak ada seorangpun yang mau mempercayainya.
Bahkan kedua kakak saya malah menertawakannya. Mereka anggap saya hanya bermimpi di siang bolong. Mereka bilang itu pasti kisah orang lain yang mungkin mirip. Saat itu, saya tak mampu menyangkalnya. Mungkin mereka benar.
Saya pun mencoba melupakan kejadian tersebut. Meski demikian, saya tetap berusaha mengirim naskah ke beberapa media, diam-diam. Hingga akhirnya semua kerja keras ini membuahkan hasil. Naskah esai pertama saya dimuat oleh salah satu majalah remaja yang kini sudah gulung tikar. Bahkan honor pertama itu pun, tak terbayarkan sama sekali.
Kecewa, memang. Tapi ada kepuasan tercipta sendiri di dalamnya. Untuk kedua kalinya saya kembali menyodorkan majalah tersebut dengan bangga. Tapi ternyata, respon keluarga masih tetap dingin.
Apalagi Ayah, dia hanya melengos pergi, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Plak! Rasanya seperti ditampar keras-keras. Ingin rasanya saya berhenti saat itu juga. Berhenti bermimpi menjadi seorang penulis. Lalu, mencari pekerjaan lain yang mungkin lebih masuk akal menurut mereka.
Saya merenung. Apa impian ini, harus terhenti sampai di sini? Apa semua jerih payah yang pernah saya lakukan selama ini hanya menjadi hal yang sia-sia? Tidak. Saya tidak boleh menyerah begitu saja. Saya harus buktikan bahwa pilihan hidup ini tidaklah salah.
Semua kenangan itu kembali membayang dipelupuk mata. Mulai dari membohongi keluarga, menguras uang tabungan hingga tak bersisa. Bahkan rela berjalan kaki hingga sejauh 4 km, pulang pergi hanya untuk mencharge semangat menulis.
Sungguh, saya tak pernah menyesal menjalaninya. Sedapat mungkin, saya berusaha menutupi semua keadaan ini dihadapan teman-teman. Saya tak ingin mereka tahu, kalau kalau keadaan saya benar-benar memprihatinkan.
Hanya sekedar ongkos untuk pulang pun, saya tak punya. Bila sudah begitu, saya sengaja melambatkan diri agar tidak ketahuan. Jika tidak, saya akan mencari alasan agar tidak pulang bersama mereka.
Biarlah semua ini tetap menjadi rahasia. Baik dulu, kini ataupun nanti. Biarlah mereka tak pernah tahu, apa yang terjadi. Cukuplah hanya Allah yang menjadi saksi sekeras apapun perjuangan hidup saya selama ini.
Yang terpenting sekarang, semua kisah pahit yang pernah saya alami dulu. Kini berubah menjadi kisah indah yang tak pernah bosan-bosannya saya bagikan pada orang lain. Termasuk bapak atau mungkin orang lain yang tak sengaja membacanya.
Atas segala perhatian dan waktu luangnya. Saya ucapkan terima kasih.
    Wassalamu’alaikum Wr.Wb


Hormat saya


Assyfa Nurhalimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dompet Baru

"Cieee, ada yang punya dompet baru, nih!" cetuluk Dinny yang baru tiba di kostan. "Iya, hehe... Dompet dibeliin Emih pas mu...