Menunggu. Menunggu adalah hal
yang paling kubenci sejak dulu. Tapi mau bagaimana lagi, hanya ada satu bus
yang bisa membawaku menuju ke tempat tujuan. Aku berusaha untuk bersabar,
biarpun kesal tak bisa dibuang.
Entah berapa lama lagi, aku
harus duduk di halte. Sudah puluhan orang datang dan pergi dari tempat ini. Sementara
aku? masih belum beranjak ke mana-mana, sedari tadi.
Hhh, sebenarnya
aku ingin segera meninggalkan halte ini. Sayangnya, aku tak punya petunjuk
lain. Selain taksi, jenis angkutan angkutan apa lagi yang bisa membawaku pergi
ke tempat tujuan.
Padahal, dengan uang yang
kumiliki saat ini, mana mungkin aku sanggup membayar ongkos taksi. Mau tak mau,
aku harus tetap menunggu hingga bus itu datang. Entah untuk berapa lama lagi.
Seorang ibu paruh baya pemilik
kios rokok di sebelah halte, hanya melirikku sesekali. Mungkin dia heran,
kenapa aku masih betah berada di halte ini. Ingin rasanya kusapa dia, meski sekedar
basa-basi melepas bosan.
Tapi dengan sorot matanya yang
tajam serta tatapan dingin darinya, membuatku harus berpikir ulang. Sebaiknya, kuurungkan
saja niatku barusan. Lagipula, ponselku kembali bergetar. Sepertinya, ada pesan
yang masuk.
“Teh, dah nyampe mana?
Ntar kalo dah deket sms saya ya!”
Aku menghela nafas. Lagi-lagi,
sms dari dia. Seorang sahabat, yang tempatnya akan aku kunjungi nanti. Aku
segera menekan tombol balas yang ada di pojok kanan layar ponsel.
“Busnya, masih belum
datang juga!” jawabku sembari membubuhkan ekspresi kecewa diujung sms.
Kini, aku kembali terduduk
di bangku halte dengan perasaan gelisah. Rasa kesal sudah mulai memenuhi
kepalaku. Bayangkan saja, dari pertama kali aku datang ke halte ini hingga
sekarang, sudah tiga kali pesan yang sama dan dikirim oleh orang yang sama
pula.
Mungkin sahabatku itu
sudah mulai bosan menunggu. Sedangkan aku, masih belum beranjak kemana-mana. Aku
masih tetap berada di tempat sama. Ingin rasanya aku mendatangi pemilik armada
bus ini. Lalu kumarahi mereka sepuas hati.
“Tolong
ya! jangan seenaknya mengecewakan konsumen. Daripada begini, lebih baik gak
usah jalan sekalian!”
Aku tersenyum puas, dengan
imajinasiku sendiri.
Sepintas, aku mulai berpikir
akan membatalkan janji untuk menemuinya. Lalu melangkah pulang dan tidur
nyenyak di rumah. Tapi sungguh, aku merasa tak tega membuatnya kecewa.
Bukan kali ini saja, dia menanyakan
rencanaku untuk mengunjungi tempatnya. Tak lain, hanya memastikan kedatanganku.
Semua itu, membuatku merasa tak enak hati. Apakah bisa lain kali? Lalu lain
kali itu kapan? Kesempatan itu takkan pernah bisa berulang.
Tapi… aku sudah bosan
menunggu lama, sungguh. Biarlah kukirim pesan mengecewakan ini padanya, aku
menyerah. Namun, di detik-detik akhir keputus asaan, bis yang kutunggu tampak
muncul dari kejauhan. Aku mulai bimbang, antara meneruskan perjalanan dengan
kembali pulang.
Jujur saja, aku sudah
terlanjur kesal. Namun kalau kupikir lagi, bukan hanya aku saja yang kesal
menunggu. Dia juga. Andai kubatalkan janji ini, apa aku tak kasihan dengannya?
Pasti, dia juga sudah lama menungguku.
Kurasa, sebaiknya aku
lanjutkan saja perjalanan ini. Meski cukup memakan waktu, tapi setidaknya
penantian kami berdua selama beberapa jam terakhir, tidak berujung sia-sia.
Aku segera bangkit lalu
bergegas naik sebelum bus itu kembali melaju. Jika tidak, aku tak pernah tahu
sampai kapan aku harus menunggu bus berikutnya datang. Aku sengaja duduk di
dekat pintu. Biar gampang turun, maksudku.
Sementara tangan kananku masih
tetap menggenggam ponsel dengan layar balasan yang baru aku buka. Niatnya sih,
untuk membatalkan kunjunganku. Tapi semua beralih menjadi kepuasan karena dapat
memenuhi janji.
Kali
ini, bis yang kutumpangi sudah memasuki kawasan Pasteur, aku mulai terpukau melihat
keadaan di sekeliling. Beberapa hotel serta pusat perbelanjaan tampak berdiri
menjulang, menggapai langit.
Rasanya
bagaikan mimpi bisa melihat langsung pemandangan seperti ini. Semua tampak begitu
megah daripada tayangan di televisi. Dulu kukira, hanya akan bisa melihat
pemandangan seperti itu, bila pergi ke ibukota.
Ternyata,
dugaanku salah. Aku tak perlu pergi jauh-jauh, bila hanya ingin gedung tinggi.
Sebab saat ini, gedung-gedung pencakar langit sudah banyak bertebaran di kota
kelahiranku.
Meski
demikian, semua tetap tampak baru bagiku. Kalau di kampungku, mana ada
pemandangan seperti ini? Tak ada bangunan lain yang lebih tinggi, selain kubah
mesjid dan loteng milik tetangga. Itu pun hanya loteng papan yang dibuat
seadanya.
Arus
kendaraan memang tampak sedikit lengang. Namun, bukan membuat pejalan kaki
lebih leluasa menyebrang jalan. Justru mereka harus lebih hati-hati karena hampir
semua kendaraan yang melintas, melaju dengan kencang.
Melihat
suasana seperti itu, aku jadi teringat pada pesannya, tempo hari.
“Kalo sudah sampe, cari
jembatan penyebrangan aja. Nyebrang di sini mah terlalu beresiko!” katanya dengan logat sunda yang khas.
Maka, ketika melihat
sebuah jembatan penyebrangan, aku segera turun dari bus. Kurasa, tak ada
jembatan penyebrangan lain di kawasan tersebut. Lagipula, dia sudah berpesan
akan menungguku di dekat jembatan.
Sejauh pengamatanku,
tentunya jembatan ini jauh lebih kokoh. Bukan hanya itu, tingginya pun dua kali
lebih tinggi daripada jembatan penyebrangan yang ada di kampung kami.
Kampung kami juga memiliki
jembatan penyebrangan yang terbuat dari bahan seadanya, seperti kaleng ataupun
seng. Tentu saja tidak tahan lama, serta bunyinya yang cukup mengganggu
pendengaran bila diinjak.
Selain itu, seringkali
banyak lubang baru yang bermunculan di setiap bagian jembatan. Dengan
kondisinya yang memprihatinkan seperti itu, pantas saja kalau masyarakat lebih
memilih menyebrang di bawah saja.
Mereka pikir, menyebrang
di jembatan penyebrangan hanya akan menambah resiko saja. Selain ketakutan yang
berlebihan, juga bisa menyebabkan kecelakaan jika pengguna tidak berhati-hati.
Ada sedikit keraguan, saat kaki ini hendak
melangkah melalui jembatan. Semenjak kecil, aku memang takut pada ketinggian.
Apalagi dengan ketinggian yang seperti itu, membuat hatiku semakin ciut.
Aku menengadah, mengamati
jembatan itu. Berusaha mengumpulkan segenap keberanian untuk bisa melaluinya
tanpa ada masalah. Hatiku mulai merasa lega, saat tahu kalau jembatan tersebut
sudah terbuat dari beton.
Meski demikian, kedua
kakiku masih tetap terasa gemetaran saat melangkah di atas jembatan. Apalagi
saat melihat kendaraan yang tampak berseliweran di bawah kakiku. Namun, aku
terus melangkah perlahan-lahan hingga
akhirnya bisa sampai di ujung jembatan.
Dari atas jembatan,
kulihat seseorang berdiri didekat jembatan. Orang itu mengenakan kerudung
praktis dengan warna magenta yang telah pudar, kaos belang-belang yang
kedodoran serta rok kepanjangan yang menyapu jalan.
Sebenarnya aku sudah
melihat sosok tersebut, jauh sebelum aku menyebrang. Entah siapa orang yang
ditunggunya. Sepertinya orang itu menunggu sesorang yang begitu special
baginya.
Ternyata, hingga aku tiba
disebrang jalan, sosok itu masih belum beranjak dari tempatnya berada.
“Akhirnya, terlaksana
juga!” ucap suara yang sangat aku kenali.
Aku segera mengangkat
wajah, dan menoleh ke arah suara itu berasal. Ternyata pemilik kerudung Magenta
itu adalah orang yang akan aku tuju di tempat ini. Kami pun segera berpelukan
melepas rindu.
“Cape? Rumahku, jauh ya!”
sapanya sambil melepas senyum.
Aku menggeleng dan
membalas senyumannya. Aku sungguh bahagia bisa bertemu dengannya, terlebih
dapat memenuhi janji yang telah kuucapkan tempo hari.
Seandainya tadi aku tetap
menuruti emosi, tidak akan mendapatkan apa-apa.
Emosi yang ada dalam diri hanya akan menguras energi. Dan mungkin aku
takkan pernah bisa sampai di tempat ini, seperti sekarang.
“Yuk, ah! Kita langsung ke
rumah saja!” ajaknya.
Aku mengangguk dan
mengikutinya dari belakang. Hari ini, aku sungguh beruntung
In memorian
Pasteur, 10 Agustus 2008