REVIEW FILM
Malam itu, sepulang kelas Mandarin di Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA) aku mendapat
kabar dari sms center sahabat MKAA. Yang mengabarkan bahwa besok siang bakal ada nonton bareng di ruang
Audiovisua MKAA. Mulai pukul 10.00-15.00. Gratis.
Hmm, tak
boleh terlewat nih!
Katanya lagi, film yang akan diputar besok adalah film yang lolos AFI 2012. Waah!
Entah suatu kebetulan atau tidak, yang jelas aku baru saja membaca ulasannya di koran kompas, pagi ini.
Sebenarnya, ada lima film unggulan dari AFI yakni: "Mata Tertutup", "Soegija", "Cita-Citaku Setinggi Tanah", "Tanah Syurga Katanya" dan "Berandal-berandal Ciliwung." Namun, hanya dua film saja yang akan diputar di MKAA yakni "Cita-citaku Setinggi Tanah” dan “Berandal-berandal Ciliwung.” Tak apalah.
Entah suatu kebetulan atau tidak, yang jelas aku baru saja membaca ulasannya di koran kompas, pagi ini.
Sebenarnya, ada lima film unggulan dari AFI yakni: "Mata Tertutup", "Soegija", "Cita-Citaku Setinggi Tanah", "Tanah Syurga Katanya" dan "Berandal-berandal Ciliwung." Namun, hanya dua film saja yang akan diputar di MKAA yakni "Cita-citaku Setinggi Tanah” dan “Berandal-berandal Ciliwung.” Tak apalah.
Sebenarnya bukan
karena gratisnya, yang menarik perhatianku. Tapi karena salah satu film yang
akan diputar yakni “Cita-citaku Setinggi Tanah” sudah masuk ke dalam list film
yang ingin aku tonton. Sayang masih belum kesampaian.
Maka esok
paginya aku nekat pergi ke MKAA. Tanpa mengajak siapapun atau menghubungi
siapapun. Lagipula siapa yang bisa aku ajak, di saat jam kerja seperti ini. Hanyalah, orang pengangguran dan freelance sepertiku yang bisa hadir pada
jam-jam segitu.
Sayangnya, aku
baru bisa pergi dari rumah sekitar pukul 10.00. Ah, semoga saja pemutarannya
meleset dari jadwal. Jika tidak, aku sudah terlambat selama 30 menit. Untuk
ukuran sebuah film, pasti rugi besar tertinggal durasi selama itu.
Begitu tiba
di MKAA, baru beberapa orang saja yang sudah duduk di ruang Audiovisul. Lho
yang lain, pada ke mana? Ketika registrasi, panitia menyebutkan kalau acara
baru dimulai pukul 11.00 nanti. Berarti, aku masih punya waktu luang 30 menit. Fuih, syukurlah..
Akan tetapi,
ada hal yang lebih melegakan lagi. Selain mendapat kesempatan nonton dua film
gratis. Peserta nonton bareng juga mendapat konsumsi, plus membawa oleh-oleh
PIN dari Apresiasi Film Indonesia (AFI).
Hhm, kapan
lagi kesempatan langka seperti ini :p
Waktu 30
menit berlalu tanpa terasa, padahal kami hanya ngobrol-ngobrol ringan sambil
menikmati konsumsi yang sudah disediakan. Seperti yang disarankan seorang bapak
yang duduk disebelahku. Tahu aja, kalau saya sedang lapar, hehe…
Tak seperti film-film yang pernah aku tonton, dengan prolog berupa pendangan ataupun sebuah narasi pengantar. Tapi kali ini terasa beda. Sebab, Eugene Panji menghadirkan anak-anak dengan segala prilaku polosnya. Serta keinginannya setelah besar nanti. jawabannya tentu saja beragam.
Kemudian beralih
pada pengenalkan para tokohnya. Ada Jono yang selalu menjadi ketua kelas dan
ingin jadi tentara. Ada Sri yang bercita-cita ingin menjadi artis dan ingin
selalu dipanggil Mey. Sementara Puji bercita-cita ingin bisa membahagiakan
orang lain. Sayang, hobinya tidak terpuji sebab dia suka mengupil.
Terakhir
Agus, sebagai tokoh utama. Ayahnya seorang pegawai di pabrik tahu, sedangkan
ibunya pandai memasak. Meski hanya memasak tahu bacem, yang menjadi makanan
favorit keluarga mereka. Hingga setiap harinya mulai dari pagi, siang ataupun
sore mereka selalu makan tahu bacem.
Film ini
berkisah tentang persahabatan antara Agus, Jono, Sri dan Puji. Satu waktu,
mereka berempat mendapatkan tugas untuk membuat sebuah karangan tentang
cita-citanya dari gurunya di sekolah.
Namun diantara mereka berempat, Aguslah yang paling terlihat bingung menuliskan
cita-citanya. Kenapa? Karena cita-cita Agus, hanya ingin makan di restoran
Padang. Yang dia tahu cita-citanya ini, hanya perlu diwujudkan bukan untuk
dituliskan.
Keinginan Agus
yang terbilang unik ini tentu saja menjadi bahan ejekan
teman-temannya. Bahkan Puji sampai mengatakan kalau cita-cita Agus itu rendah
tapi menyusahkan. Meski demikian, Agus tidak peduli. Yang penting baginya, mencari cara agar cita-citanya itu bisa terwujud.
Sebenarnya
bukan hanya Agus saja yang berpikiran demikian, teman-temannya pun sama. Jono
terus melatih kemampuannya untuk menjadi tentara. Bahkan, ketika Ibu Jono
menyuruhnya untuk menangkap ayam, dia malah bermain perang-perangan. :D
Ada Sri yang
terus diajari akting oleh Ibunya. Bahkan Ibunya sampai rela mengirimkan
oleh-oleh khas Muntilan beserta surat pengantar pada salah satu kenalannya di
Jakarta. Agar Sri anaknya, bisa diajak menjadi artis terkenal di sana.
Sementara
Agus berpikir, dia harus punya uang banyak jika ingin makan di restoran Padang.
Dengan sebegitu banyaknya piring yang disajikan, dia berpikir harus membayar
semuanya. Padahal seperti yang kita tahu kalau makan di restoran Padang hanya
membayar apa yang kita makan saja.
Mulanya,
Agus mencoba meminta uang pada orang tuanya. Tapi ayahnya malah bilang kalau sekolah
jaman sekarang itu, apa-apa perlu duit. Sedangkan dulu, sekolah hanya perlu
otak. Agus pun memutuskan untuk
mengumpulkan uang sendiri.
Berbagai upaya dia lakukan untuk mewujudkan keinginannya itu. Mulai dari menabung, hingga mencari keong di sawah dan menjualnya. Bahkan dia rela menjadi kuli antar tahu dan ayam untuk menambah tabungannya.
Setelah
sekian lama, uang tabungan Agus sudah terkumpul cukup banyak. Dia meminta bantuan Sri untuk menemaninya
membeli manik-manik. Lalu membuat topi yang biasa dikenakan oleh para pelayan
yang ada di restoran Padang.
Satu waktu,
Ibu Agus memintanya untuk menimba air di sumur. Namun, Agus malah membawa
plastik yang berisi uang tabungannya itu dan meletakkannya di pinggir sumur.
Tersentuh sedikit saja, plastik tersebut sudah masuk ke dalam sumur.
Agus
menangis, semua jerih payahnya selama ini sia-sia. Dia tak sanggup membayarkan
bila harus memulainya dari awal. Untunglah keberuntungan masih berpihak
padanya. Sebelum kembali ke kampungnya, nenek Agus memberinya uang jajan
diam-diam.
Kini, Agus
sudah punya uang yang cukup untuk mewujudkan keinginannya. Apa dia segera pergi
ke restoran Padang? Ternyata tidak. Agus baru
sadar, kalau masih ada hal yang lebih penting daripada mewujudkan keinginannya
ini. Apa gunanya cita-cita bisa terwujud, bila dirinya tetap sendirian. Bukankah
keluarga dan sahabat jauh lebih penting dari segalanya?
Di akhir
kisah, Agus pun dapat membacakan karangannya dengan lancar dihadapan
teman-temannya. Namun yang lebih mengejutkan lagi, karena cita-cita Agus malah
berubah menjadi seorang penyanyi. Lho?
Meski endingnya bisa dibilang nggak nyambung. Tapi jujur saja, aku suka dengan ending seperti ini. Mengejutkan penonton :D
Meski endingnya bisa dibilang nggak nyambung. Tapi jujur saja, aku suka dengan ending seperti ini. Mengejutkan penonton :D
Kalau tadi
di awal film, Eugene Panji menghadirkan anak-anak sebagai pembuka. Maka di akhir
film, Eugene Panji menghadirkan dari para ibu hamil beserta ibu-ibu yang
memiliki balita mengenai harapan mereka pada anak-anaknya di masa mendatang.
Terakhir,
saya suka sekali dengan film ini. Alasannya? Meski idenya terbilang sederhana,
tapi penuh dengan pembelajaran. Bahwa, untuk mendapatkan sesuatu itu perlu
kerja keras dan usaha yang tidak pantang menyerah. ;)
Bandung, 26 Nopember 2012